Rabu, 12 Agustus 2009

Nabella Volary ”Antara Fasion dan Bintang Film”

Dunia Modeling merupakan awal dari perjalanan karir Nabella Volary, besutan Rasman Abbas (Cek man) sejak duduk di bangku kelas satu Sekolah Menegah Atas ini semakin matang akan dunia fasion, baik ditingkat reginal maupun di tingkat nasional. Jangan tanya masalah prestasi kepada bella, karena banyak iven lomba dan festival sering memunculkanya sebagai kandidat juara.

“Bagi saya dunia modeling tersebut sangat menarik dan penuh tantangan, bukannya mudah untuk berjalan dan memeragakan busan di catwork dengan sepatu berhak tinggi 9 cm, semua membutuhkan latihan yang ekstra ketat dan terus menerus sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.” Ujar dara kelahiran 2 Juni delapan belas tahun yang lalu ini.

Bella mengatakan, untuk mencapai hasil yang maksimal sangat dibutuhkan latihan yang serius dan maksimal pula. Terbukti dari beberapa ivent lomba, Bella muncul sebagai juara pertama lomba Catwork, Finalis Lomba Model majalah Kawanku, juara ke dua Duta Wisata Dua yang diadakan di Aceh beberapa waktu lalu dan masih banyak yang lainnya.

Keberhasilan ini tidak serta merta terjadi begitu saja, banyak faktor yang membuat Bella dapat meraih prestasi, terutama yang bersal dari diri sendiri, punya kemauan kuat, Berani mencoba hal-hal yang baru, disamping itu pula untuk mewujudkan ambisi yang kita inginkan, menurutnya, juga harus di dukung oleh orang tua, pelatih dan teman-teman. Jika semua ini sudah di dapatkan maka tinggal menjalankannya secara serius dan bertanggung jawab.

Mahasiswi Pertanian jurusan Agrobisnis Unsyiah yang kini masih menikmati semester satu ini menambahkan, “Dunia Model, merupakan dunia yang glamor dan memiliki cita rasa tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat, dilain pihak banyak juga masyarakat kita yang memandang sebelah mata untuk dunia kami ini, namun saya dan kawan-kawan tetap konsisten akan apa yang kami geluti hari ini, saya yakin lewat fasion orang lain akan mengenal asal, suku dan identitas kita, maka yakinlah ketika fasion Aceh di kenal orang maka semua orang akan mencari kekhasan kita lewat pakaian.”paparnya putri kedua pasangan Syamsuar dan Rahmah ini.

Dunia modeling bukanlah satu-satunya bidang ekspresi yang digeluti Bella, dunia acting pun di rambahnya dengan kegemilangan, setelah lolos dua kali test cesting, Bella pun dinobatkan menjadi pemeran utama dalam Film Lemak Mabok sebagai Farida yang disutradarai Nisfu Candra Dirwata dan di produksi oleh Ide Production. pada mulanya Bella merasa canggung dan bingung, kenapa suradara memilihnya menjadi pemeran Farida, sementara diantara kontestan banyak yang lebih baik dari dirinya.

“Film Lemak Mabok ini merupakan Film Komedi yang memasukan unsur etnikalitas Aceh yang sarat akan pesan dan cuplikan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Aceh, Inilah Film pertama saya. Beberapa teman-teman dicoba untuk menjadi peran Farida, namun yang terpilih oleh sutradara justru saya, sempat bingung juga, tapi lama-kelamaan peran itu menjadi menyatu dengan saya dan semua ini berkat arahan sutradara yang terus menerus mengarahkan saya untuk benar-benar menjadi Farida.” Urainya

Pengalaman untuk menjadi seorang bintang film ternyata harus terus diasah oleh belia yang satu ini, beda halnya dengan dunia fasion yang sudah melekat sejak lama. Dunia peran memang diakuinya sangat disukainya, namun baru beberapa waktu ini dapat di jalaninya dengan nyata, Bella mengakui dalam memerankan Farida banyak sekali yang harus diperbaiki, terutama persiapan untuk menjadi seorang aktor. Sejauh ini usaha Bella untuk belajar seni peran terus dilakukannya, kedekatannya dengan para seniman teater Taman Budaya kerap dijadikannya sebagai tempat bertanya berbagai persoalan tentang seni peran. “Saya ingin mendalami seni peran secara serius seperti ketika saya berada di dunia fasion,”ujarnya.

Rahmad Sanjaya

Taman Budaya Aceh Mati Suri Setalah Renovasi


Seniman ; Ganti Kepala Dinas Disbudpar

Kemegahan gedung yang telah di renovasi milyaran rupiah oleh BRR di tahun 2008 ternyata tidak menjamin tingginya intensitas kegiatan kesenian di Taman Budaya, banyak seniman mengeluhkan kondisi ini, dari mulai gedung yang tidak senyaman gedung lama hingga ke persoalan matinya berbagai kegiatan kesenian yang dulunya dirancang oleh Taman Budaya secara baik.

Sementara seniman yang sering mangkal di Taman Budaya juga merasakan perbedaan yang sangat besar selama empat tahun tarakhir. Taman Budaya jadi sepi program kesenian, yang ada hanya program-program sempalan yang tidak mengatas namakan kesenian, seperti acara resepsi perkawinan dan pelantikan, prajabatan pegawai negeri sipil. Dari pengakuan beberapa seorang seniman menyebutkan, perubahan fungsi Taman Budaya sebenarnya sudah terjadi ketika Sudjiman A Musa yang dulunya menjabat sebagai kepala Taman Budaya di gantikan Hj.Poernamawati, nampak jelas ketika itu gedung tertutup sangat sulit di pakai oleh seniman, tetapi jika para pejabat daerah ingin mengadakan acara, gedung tersebut selalu terbuka, disinilah kebiasaan pergelaran acara serimonial mulai menjangkit dan tidak dapat berhenti hingga saat ini.

Menurut Riyadi yang saat ini menjabat kepala Taman Budaya, sesuai dengan Tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi), Taman Budaya adalah sebuah laboraturium, semua program kesenian dikonsentrasikan di sini. Baik itu eksperimen seni, pameran, pergelaran seni hingga pelatihan seni, hal ini pernah terwujud satu kali di tahun 2006.

Di tahun 2007 kegiatan kesenian juga hanya sekali dilakukan, karena Taman Budaya tidak memiliki dana untuk berbagai kegiatan kesenian, lagi pula di tahun ini ada rehap gedung tertutup oleh BRR. Riyadi menambahkan banyak seniman yang datang padanya untuk meminta bantuan dana kegiatan kesenian baik berupa pelatihan maupun pergelaran, namun Taman Budaya tidak kuasa membantu mereka.

“Karena sudah terlalu banyak seniman mengajukan usulan dan permohonan kepada Taman Budaya untuk bergabagai kegiatan seni, maka kami buatkan program dan kami layangkan ke BRR dan Pemerintah Daerah, namun hasilnya nihil, sedangkan di tahun 2008 Kita juga membuat program seperti tahun-tahun sebelumnya, baik berupa pergelaran maupun program fisik.” urainya

Lebih jauh Riyadi menambahkan, Pengajuan program rehap sekretariat (kantor) dan Galery bukan tanpa alasan, sejak dirinya menjabat kepala Taman Budaya, kondisi kantor, Galery dua dan beberapa bangunan peninggalan 1970 an ini sudah sangat rusak dan rapuh dimakan usia. Jadi sangat wajar kalau dirinya mengedepankan program fisik, karena di sekretariat bernaung 36 orang pegawai yang setiap saat kerja tanpa ada kenyamanan ruangan seperti layaknya kantor-kantor lainnya.

Menanggapi situasi yang berkembang di Taman Budaya akhir-akhir ini, seniman Banda Aceh yang merasa prihatin terhadap sepinya program dalam empat tahun terakhir ini. Sofyan mengatakan, “Marilah kita perbaiki kinerja kita, Tupoksi itu harus berjalan sesuai dengan aturan, jangan ada tumpang-tindih program. Selama ini saya lihat Disbudpar selaku induk dari UPTD seharusnya lebih arif mengatur berbagai program, Taman Budaya ini di bangun bukan untuk sekedar pajangan fisik yang megah. Tetapi dia juga memerlukan berbagai program yang sesuai dengan bentuk fisiknya yang megah itu. Kita bisa bayangkan gedung kesenian tanpa ada pertunjukan kesenian, lebih baik di bubarkan saja Taman Budaya, sebab ini akan membuat seniman kita bertanya-tanya, apa saja tugas orang di Taman Budaya kalau tidak memiliki program kesenian. Kepala Dinasnya harus bijak dalam mengejawatahkan Tupoksi UPTD yang satu ini.” Ujar Seniman Musik yang satu ini.

Dari pemantauan yang di lakukan Sipil, Taman Budaya memang sangat memprihatinkan, bangunan fisik yang di utarakan Riadi memang mengalami kerusakan, Sekretariat seperti rumah kardus yang di tambal sulam agar dapat berkantor seperti biasa, Galery Dua juga terlihat sangat kumuh, kamar mandinya tidak memiliki pintu sebagaimana mestinya, sementara seniman tari terus menggunakannya setiap saat. Lain lagi dengan mess seniman. Paska tsunami Mess Seniman tidak lagi berfungsi untuk para tamu yang datang ke Taman Budaya, tetapi sudah menjadi tempat tinggal permanen bagi sebagian karyawan Taman Budaya, seniman dan beberapa korban tsunami yang tidak memiliki rumah. Kondisi fisik Mess Seniman ini juga sangat hancur dimakan usia. Fisik yang terbuat dari papan sudah rapuh dan lapuk, sanitasi juga tidak memenuhi standar kesehatan.

Belum tuntas persoalan gedung dan beberapa bangunan yang dianggap sudah tidak layak pakai lagi, air dari PDAM pun berhenti, dari keterangan Riadi, air dari PDAM sudah tidak mengalir ke Taman Budaya karena pihaknya tidak sanggup membayar tiap bulannya. “Persoalan ini juga sudah kami sampaikan pada kepala dinas, namun hingga saat ini belum ada tanggapan apupun,” sebutnya.

Di Sisi lain ada dua Gedung Taman Budaya yang sudah direhap luar dan dalam, yaitu Gedung tertutup dan gedung terbuka (Open Stage). Untuk gedung tertutup di bantu 3,3 M, sedangkan Open Stage dibantu sebesar 2,3 M. Gedung tertutup juga di bantu 900 kursi dan 5 buah AC, dana pembangunan Taman Budaya ini dibantu Oleh BRR dipa 2006/2007. Namun hingga saat ini open stage belum serah terima dengan pihak Taman Budaya.

Saat ini Taman Budaya memiliki 36 karyawan, 4 orang klining servis yang harus membersihkan 2,7 Ha belum termasuk gedung. Dengan jumlah clining servis yang hanya berjumlah 4 orang tersebut Taman Budaya tidak akan bersih, maka dari itu Riyadi kerap memerintah para pegawainya untuk ikut membersihkan seluruh areal yang ada.

Taman Budaya juga merupakan salah satu aset Pendapatan Asli daerah, di tahun 2008 setoran ke Pemda 16,5 juta dari target 12 juta. Semua ini di dapat dari hasil sewa gedung yang kerap di sewa oleh seniman maupun masyarakat sekitar Banda Aceh. Pihak Taman budaya mengakui dengan adanya penyewaan gedung untuk seniman 1-1,5 juta (nego) dan untuk masyarakat 1,5 juta sampai 2 juta, seniman yang berdomisili di Banda Aceh tidak sepenuhnya menerima ketentuan ini, sebab mereka menganggap hidupnya Taman Budaya sejak mulai berdirinya selalu dikarenakan adanya seniman.

Seniman membandingkannya dengan masa Sudjiman A Musa menjadi kepala Taman Budaya, bilamana seniman ingin memakai salah satu gedung, cukup mengajukan surat tanpa sepeserpun ada di tarik bayaran. Para seniman juga menghimbau kepada kepala Disbudpar dan Pemerintah Daerah agar Taman Budaya benar-benar dijadikan laboratorium kesenian dan setiap seniman menggunakan gedung baik open stage maupun gedung tertutup di bebaskan dari pembayaran sewa.

“Kalau mau tahu seniman tidak pernah di bantu dalam proses kesenian, mau bikin pementasan di Taman Budaya harus bayar, sementara kalau ada ivent nasional, para pejabat yang dapat nama, dan selalu ikut serta dalam rombongan kesenian, kan lumayan dapat liburan gratis dengan alasan mengawal para seniman. Sekarang coba kita perhatikan Pemda kita tidak pernah memperhatikan seniman Aceh baik yang tradisi maupun yang modern, lalu apa kerja dinas kebudayaan, lebih baik ganti saja kepala Dinas Kebudayaan dan antek-antek alias calo-calo kesenian yang berada di Dinas beserta jajarannya. Mungkin dengan penggantian tersebut kesenian kita bisa lebih membaik.

Melalui media ini kami sampaikan agar para penentu kebijakan juga cepat tanggap dengan kinerja orang-orang yang anda tempatkan sebagai kepala Dinas, karena kesenian Aceh bukanlah politik tapi dia adalah identitas kita, ketika kita sudah tidak lagi memiliki kesenian dan kebudayaan Aceh ini mau jadi apa!” sebut seniman yang tidak ingin namanya di tulis.

Rahmad Sanjaya

Ulfa Ladayya “Jilbab Dapat Bedakan Muslim Atau Bukan”

Ketika Syariat Islam di tegakkan di Aceh semua wanita Aceh tidak ada pilihan lain harus mengenakan jilbab ketika berada di luar rumah. Bahkan ketika seruan memakai jilbab ini pertama kali di sosialisasikan pada masyarakat banyak pamplet dan seruan di spanduk rentang “kawasani wajib jilbab”.Gencarnya sosialisasi jilbab, membuat masyarakat semakin faham dan tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut masyarakat Aceh terutama yang wanita selalu memakai jilbab ketika bepergian di luar rumah. Namun setelah bencana tsunami menghantam Aceh, tampak ada pergeseran nilai bagi kaum wanita Aceh. pemakaian Jilbab yang dulunya sudah tidak perlu di himbau lagi kini seolah terkikis perlahan-lahan,

Ulfa Ladayya yang kesehariannya bergelut dengan mode dan juga tercatat sebagai bagian dari sebuah perkumpulan Model di Banda Aceh mencoba menyikapi masalah penggunaan jilbab yang akhir-akhir ini semakin lepas dari pengawasan syariat Islam yang berlaku di Aceh saat ini.

Putri H.M.Nasir G dan Hj. Hasdiana Hasan yang kini memiliki dua orang buah hati T.M. Burhanissulthan Pribadi (7) dan Cut Ratu Ghaniyya Maulan Pribadi (6), menyebutkan, Saat ini mode Aceh semakin berkembang, apalagi jilbab. Dulunya jilbab yang ada di pasaran kita hanya berbentuk segitiga, dan warnanya sangat membosankan bagi siapa saja yang memakainya, namun dengan perkembangan zaman, jilbab sudah banyak corak dan motifnya, apalagi dapat disesuaikan dengan setelan yang kita pakai.” Ujar istri T.Taufan Maulana Pribadi ini.

Menantu T. Pribadi yang satu ini merupakan salah satu model yang sering ikut serta dalam peragaan busana baik di Banda Aceh dan beberapa kota lainnya, dia juga salah satu model yang memperagakan busana batik Aceh karya Nursanti istri walikota Banda Aceh ketika Gedung Batik Aceh di resmikan oleh ibu negara Ani Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu yang lalu.

Saat itu Ulfa Memakai gaun batik bermotif Kerawang Gayo Blangkejeren dengan perpaduan warna merah, garis kuning dan hitam. Dari penampilannya, ulfa tampak feminim dengan paduan jilbab yang berwarna merah dan hitam, tidak heran banyak para fotografer mengabadikannya ketika sedang beraksi, keserasian pakaian dan jilbab inilah yang membuat seorang wanita Aceh memiliki identitas.

“Sebaiknya sosialisasi jilbab pada kalangan wanita muda Aceh harus terus di galakkan, bukan hanya itu saja, tapi beri mereka pengertian bagaimana menyelaraskan antara pakaian dan jilbab yang mereka gunakan, agar tidak terjadi tabrakan warna sehingga pemakaian jilbab menjadi beban sangat berat bagi mereka, sosialisasi ini perlu di galakkan di daerah perkotaan, misalnya sekolah-sekolah, perguruan tinggi dan lain sebagainya, karena pada usia inilah yang sering kita lihat di jalan-jalan dengan berani tidak memakai jilbab,”Urainya

Model Yapsemo kelahiran Bireun 26 tahun yang lalu ini menambahkan, Aceh adalah daerah percontohan Syariat Islam yang menjadi kiblat daerah lain, maka sudah semestinya kita memperbaiki kondisi yang selama ini kita biarkan terkikis oleh bawaan kondisi yang berkembang selama ini, terutama persoalan jilbab, menurutnya dengan memakai jilbab kita dapat mengidentifikasikan wanita mana yang beragama Islam dan non Islam, sebab daerah kita merupakan daerah terbuka bagi siapa saja maka sudah barang tentu agamanya juga sangat berbeda-beda, dan pemakaian jilbab pun tidak harus di paksakan pada mereka yang non Islam. Tetapi bagi umat Islam yang hadir di Aceh apalagi penduduk Aslinya harus wajib memakai jilbab, tidak ada alasan untuk mengelak, sebab agama kita menganjurkan untuk itu, qanun juga berbicara masalah itu dan hukum masyarakat yang tidak tertulis dan berlaku sebagai budaya juga membahas tentang jilbab. Artinya memakai jilbab bukanlah kampungan tapi menutup penutup aurat bagi muslimah di nanggroe ini” , demikian Ulfa

Rahmad Sanjaya

Novaldin Ali H Pengusaha Burger Asal Gayo


Awalnya dia bermusik, tapi hanya berjalan sesaat. Bakat musik dalam diri Novaldin Ali H lelaki asal kelahiran Takengon (39), masih mengalir, sehingga tahun 1997 diapun mendirikan studio musik bersama Dedi Sarong---personel Band Metazone, Group Band asal Aceh yang pernah menjuarai festival Rock se Indonesia--. membangun studio Metazone di Lingke, Banda Aceh. Tentu bisnis itu tidak menjanjikan masa itu. Berbekal sebuah Ruko dua lantai, lelaki inipun lantas menjalankan usaha warung kopi di lantai bawah.

Sepinya order studio musik Metazone akibat konflik Aceh membuat gundah lelaki sederhana ini, andalan satu-satunya hanya warung kopi. Pada tahun 2000 Novan pun menikahi, Teman-temannya sesama pemusik yang baru datang dari Medan menyarankan Novan untuk berdagang Burger, karena menurut mereka berjualan berger sangat mudah dan menghasilkan

Mendengar tawaran ini Novan menanyakan perihal modal yang akan di keluarkan jika ingin berjualan Burger. Dari keterangan teman-temannya Novan hanya mengeluarkan uang Rp.750.000,- berikut gerobaknya dan sudah siap jualan, namun ketika ditanyakan pada tukang kayu yang berada di dekat studionya, harga gerobak berkisar antara Rp 3.750.000,-. Lelaki ini mulai kalut, modal di kantongnya sama sekali tidak mencukupi untuk membuat bisnis ini.

“Lama saya berpikir dan mencari cara agar usaha ini tetap terlaksana, akhirnya jalan keluarnya adalah berbicara dengan istri, saya coba meminjam emasnya dan entah mengapa istri saya itu sangat percaya akan pekerjaan yang ingin saya lakukan dan dia menyerahkan mahar kawin kami seberat 15 Mayam, ketika itu harga emas 365 ribu satu mayam, jadi saya punya modal awal Rp. 5.475.000,-“, dengan uang inilah saya buat gerobak sendiri.” jelasnya.

Ternyata persoalan Novan tidak sampai pada modal saja, saat gerobak selesai di buatnya, ia pun menyadari, tidak bisa membuat Burger sama sekali, namun langkah untuk menuju bisnis yang baru seteguh karang. Dengan berbekal uang modal yang dimilikinya, Novan menuju Medan di dampingi dua rekannya Putra dan Roy Fahmi untuk magang selama empat hari ke tempat penjualan Burger yang terletak di Thamrin Plaza.

Saat tiba di Banda Aceh, Novan di tawari untuk berjualan burger di tengah-tengah arena festival musik rock di stadion H Dimurtalla, sampai pukul 11.00 dagangannya belum satupun laku terjual, sebab makanan yang di jual Novan belum pernah di kenal baik oleh orang-orang yang ikut hadir dalam acara tersebut, bahkan ada yang menyebutkan burger itu adalah makanan kelinci karena di dalam roti ada sayurnya.

Namun ketika orang-arng di dalam stadion mulai keparan, gerobak burger Novan di serbu tanpa ampun. Ada yang makan bayar dan ada yang makan dan minum langsung di tinggal, waktu itu Novan tidak sanggup menghadapi pembeli yang begitu banyak, alasannya belum pernah jualan seperti itu selama ini. Jualan yang sangat berkesan di hari pertama membuka dagangan burger tetap menjadi memori yang indah baginya, sebab dagangan dan minuman botol titipan Anto seorang pedagang dekat studionya habis terjual, tapi uang hasil penjualannya entah kemana, Novan hanya gigit jari, di tangannya hanya ada uang Rp. 250.000,- , Burger dan berkerat-kerat teh botol juga tidak tahu dimana uangnya, namun lelaki tangguh yang satu ini hanya dapat tersenyum sembari melanjutkan usahanya tanpa henti.

“Banyak sekali pengalaman pahit yang saya rasakan saat memulai usaha ini, namun saat itu saya hanya berpikir satu hal, saya tidak boleh mundur, walau entah apalagi aral yang nantinya menghalangi jalannya bisnis ini.” Ungkapnya

Penderitaan berjualan Burger Novan setelah kejadian stadion nampaknya mengalami kemajuan lain ketika gerobak burger itu di pindahkan kembali di depan studio musiknya, semakin hari semakin banyak yang minati burger Novan yang di beri nama HIP. Kursi dan mejapun sudah mulai ada, namun kebingungan mulai melanda Novan kembali ketika sewa ruko mereka habis. Dan menurut pemilik ruko dia tidak lagi mengizinkan studio musik berada di tempatnya alasannya karena banyak yang rusak, sedangkan untuk berjualan burger di perbolehkan memperpanjang sewa. Novan juga tidak berharap dengan ruko tersebut, kalaupun diperpanjang sewa maka di lebih memilih ruko lain yang masih sederet dengan ruko yang di sewa untuk studio musik.

Kepindahan Novan ke ruko baru tidak serta merta kepindahan yang sangat nyaman, dia harus menunggu 3 bulan untuk menikmati tempat baru, namun berjualan burger tetap dilakukannya di pinggir jalan tidak jauh dari ruko baru yang sedang di renovasi oleh pemiliknya. Ketika ruko selesai, Novan baru dapat menikmati warung yang representatif dan layak meski harus membayar cicilan selama 3 tahun.

“Saat itu di tahun 2002, saya sudah punya karyawan enam orang, saya membuat gerobak satu lagi untuk kawasan simpang lima, artinya saya buka cabang baru. Malam minggu pertama saya berjualan di simpang lima, orang menyerbu gerobak kami, antri sampai macet jalan hingga ke kantor BPD, disinilah suasana mulai kita ciptakan. Dulunya kawasan simpang lima merupakan kawasan yang sepi setelah magrib, namun kami telah menciptakan keramaian dan suasana yang berbeda ketika itu. Lampu-lampu mulai ada dan kawasan itu nampak hidup setiap malam hingga saat ini.” Kenangnya

Munculnya HIP Burger menjadi penomenal bagi para pedagang lainnya yang sebelumnya belum berdagang di kawasan jl. Daud Beureueh yang dulunya Jl. T. Nyak Arief. Kawasan ini akhirnya menjadi pusat jajanan paling laris hingga ke Lampriet.

“Tahun 2002 adalah masa-masa sulit bagi kami berjualan di simpang lima, karena masa itu konflik Aceh sedang marak-maraknya, malam kami berjualan kerap diwarnai dengan dentuman bom dan rentetan senjata, dan kamipun tiarap bersembunyi di kantor pajak, gerobak tetap terbuka dan kami biarkan begitu saja, yang penting kami selamat,” ujarnya.

Setiap pulang jualan malam hari, Novan sering kali kena razia tentara dan polisi. Tetapi Novan dengan vespa bututnya yang berwarna biru tua, terus melaju sampai ke rumahnya di Lambhuk, “Saya tetap bekerja kendati situasi saat itu mencekam. Saya tetap berjualan, kalau tidak anak dan istri mau makan apa. Jadi demi anak dan istri saya tidak boleh jadi penakut.” Kata ayah dua orang anak ini.

Berkat prinsipnya itulah bisnis burger Novan kian maju. Tahun 2004, Sebelum tsunami melanda Aceh, Novan berhasil menambah gerobak burgernya menjadi 4 buah, tiga di Banda Aceh; Lingke, Lampriek, Simpang Lima dan satu lagi ada di Takengon; Simpang Empat.

Namun hanya sesaat usahanya kemudian terhenti akibat bencana tsunami. Usaha burger yang berada di Lingke hancur, sementara HIP Burger di Lampriek dan Simpang Lima Banda Aceh, hanya tinggal sisa-sisa saja. Novanpun hanya menggantungkan usahanya pada HIP Burger di Takengon.

Tapi sulit bagi Novan untuk bangkit lagi, karena dia harus kembali mencari modal usaha untuk melanjutkan dagangannya. Sementara usaha HIP Burger yang di Takengon hanya cukup untuk biaya operasional saja.

“Sejak itu itu saya mulai menjajaki pinjaman usaha ke bank, tapi berat karena bunga yang terlalu tinggi, termasuk di Bank-Bank Syariat. Untuk bunga bank saja itu lebih besar dari keuntungan saya. Jadi saya tidak lagi mencari pinjaman-pinjaman melalui bank.” Jelasnya.

Lebih jauh Novan menambahkan,”Tidak ada bank yang berbudi baik bagi masyarakat kita di Aceh, apalagi korban tsunami, buktinya ketika kami membutuhkan bantuan untuk modal usaha, bunganya melambung hingga 16 persen. Ini kan bukan membantu namanya, tapi mencekik, keuntungan kami saja tidak sampai seperti itu, dapatlah di bayangkan jika keuntungan kami cuma 20 sampai 25 persen, lalu kami harus membayar cicilan dan bunga, kami bisa-bisa berhutang dengan bank terus-terusan hingga semua milik kami disita bank. Tapi untunglah ada Jasa Raharja yang memberikan kami pinjaman dengan bunga hanya 6 persen dan usaha saya kembali berjalan.

Di awal bangkit kedua ini saya meminjam ke Jasa Raharja sebesar 25 juta, awalnya kami meminjam kredit sebesar 5 juta sebelum tsunami, dan belum lunas. Dan ketika saya melunasi kredit, mereka membantu kami dengan jumlah yang lumayan besar. Karena saya tahu BRR tidak pernah mau membantu memberi dana usaha bagi pengusaha makanan seperti kami, padahal di BRR itu ada Deputi Ekonomi yang di pimpin Syaid Faisal” Sebut lelaki berdarah Gayo ini.

Disamping pinjaman berbunga rendah yang di dapat Novan dari Jasa Raharja, para pegawainya yang tidak terkena tsunami juga memberinya motifasi untuk bangkit kembali untuk meneruskan usaha HIP Burgernya.

Empat bulan setelah tsunami, HIP Burger kembali buka di Simpang Lima dan setelah gerobak burger yang dulunya di Lampriek di rehap, HIP Burger pindah ke Beurawe sampai sekarang. Sedangkan HIP Burger di Takengon juga pindah persis di belakang Mesjid Raya Ruhammah Takengon, Aceh Tengah. Tentu dengan pasilitas dan halaman yang lebih luas dari sebelumnya.

Novan mengakui kelancaran usahanya hingga sekarang ini tidak lepas dari dukungan dan motifasi istrinya Juli. Katanya, kebangkitan semangatnya untuk tetap menjalankan bisnis burger ini lantaran sang istri bangga pada profesi yang digeluti Novan, kendati Novan sendiri merasa dirinya sebagai pedagang kaki lima yang kerap terjun langsung berdagang bersama para pekerjanya.

“Kadang-kadang istri saya setiap pulang kerja langsung ke tempat saya berdagang dan setiap dia menunggui saya memasak burger untuk para pelanggan, selalu saja saya merasa gugup, kadang-kadang tanpa sadar keringat saya semakin banyak, bukan karena panas api panggangan, tetapi karena istri ada di belakang memperhatikan saya masak. Tapi dialah yang terbaik bagi saya, segalanya bersal dari dia ada dalam hidup saya, jika saja Allah menentukan jodoh saya yang lain saya tidak tahu bagaimana menjalani masa-masa sulit dahulu hingga saya memiliki tiga tempat berjualan seperti saat ini.” Adunya.

Meski demikian Novan masih terus ingin membuat bisnisnya ini lebih maju, cita-citanya ingin membuat burger ini siap saji seperti yang dimiliki pembisnis makanan yang berlesensi luar negeri, artinya peralatan masaknya lebih baik dari saat ini. Semua ini juga kembali lagi ke persoalan dana, jika dananya cukup maka usaha burgernya akan semakin meningkat.

Investasi yang ditanamnya di HIP Burger Takengon mencapai 400 juta, itu juga belum memenuhi target baginya, belum lagi HIP burger yang saat ini berada di Banda Aceh. Untuk menutupi kekurangan di masing-masing HIP burger yang di bagunnya, Novan memakai sistem subsidi silang, artinya ketika HIP Burger di Takengon surplus maka di harus subsidi ke Banda Aceh, begitu pula sebaliknya.

Menurut Novan tingkat laku-tidaknya burger setiap harinya sangat berpariasi. Di Takengon yang buka mulai sore hingga pukul 00.00 wib kisarannya tidak kurang dari 500 roti dan untuk di Beurawe dan Simpang Lima mampu mencapai 100 sampai 200 roti setiap hari. Sementara harga jual HIP Burger ada yang Rp. 3.000,- dan ada pula yang harga Rp. 5.000,-. Jika dia menaikkan harga lebih dari itu, pelanggan akan lari meski harga bahan pokok saat ini terus melambung.

“Makanya saya bikin spanduk yang isinya Protes bahan baku naik Burger HIP turun harga!, spanduk ini saya pasang di HIP Brawe, Simpang Lima dan Takengon, semua ini ada tujuannya, terutama untuk mempertahankan tetap hidupnya bisnis saya di dua daerah ini.” demikian Noval

Rahmad Sanjaya

MY Bombang Apa Kaoy Populerkan HYM

Kesenian Hym yang berkembang di masyarakat Aceh semakin lama semakin hilang di telan zaman, sosok Apa Kaoy tiba-tiba menggugah semangat baru untuk kembali melestarikan kesenian yang satu ini.

Hym adalah salah satu bentuk sastra Aceh yang berarti teka-teki, namun MY Bombang memiliki kiat tersendiri dalam membawakan Hym setiap kali dia siaran di radionya, Bombang yang berperan sebagai Apa Kaoy membawakan Hym ini dengan cara berhikayat atau meupakhok, mendayu-dayu dan penuh dengan humor segar dan kaya makna.

Tak pelak penggemar Hym ini terbilang cukup banyak, separuh penduduk Banda Aceh sangat mengenal Apa Kaoy dengan Hym nya yang kocak dan menghibur. Kehadirannya di ruang publik pendengar radio, selalu dinantikan oleh berbagai kelompok umur terutama masyarakat pedesaan yang masih menggunakan radio sebagai sarana hiburan selain televisi.

Apa Kaoy yang beraksen Aceh kental, sering memberikan wejangan hidup, nasehat-nasehat, petuah agama dan bagaimana hidup di zaman yang sudah damai ini lewat Hym (teka-teki).

Lelaki yang dilahirkan di Aceh Utara 40 tahun yang lalu ini mengatakan, Kesenian Hym adalah warisan leluhur kita dan perlu kita lestarikan, karena siapa lagi yang mau mempedulikan kesenian kita kalau tidak kita. Hym adalah salah satu contoh sastra Aceh yang sudah kita bangkitkan kembali di masyarakat kita, setidaknya kesenian tua lainnya juga turut kita bangkitkan juga seperti Kesenian Peugah Haba, Poh Haba, sebuku, geulanggang labu dan masih banyak yang lainnya.” ujarnya

Kepedulian MY.Bombang terhadap kesenian tradisional merupakan tanggungjawab moral sebagai putra Aceh. baginya menghidupkan kesenian tradisi ibarat sebuah pertempuran antara rencong dengan peluru, meski dengan format yang sederhana sekalipun kita harus konsisten merawat dan melestarikan budaya kita sendiri, sebab ini semua merupakan identitas yang tidak boleh hilang dari kehidupan kita di Aceh.

Rahmad Sanjaya

SMA 10 Fajar Harapan Duta Aceh

Festival Musikalisasi Puisi Se-Sumatera yang rencananya akan berlangsung di Sumatera Utara. Persiapan menuju pentas seni sastra tersebut disikapi oleh Balai Bahasa Aceh dengan memilih delapan sekolah menegah atas/ sederajat, yang benar-benar berbobot dan sebelumnya telah memiliki prestasi di bidang musikalisasi puisi baik di tingkat regional, Sumatera maupun tingkat nasional

Delapan sekolah yang masuk nominasi Balai Bahasa Banda Aceh diwajibkan mengikuti pelatihan terlebih dahulu selama dua hari sebelum di seleksi tingkat kemampuannya dan skil individunya. Sekolah yang terpilih mengikuti pelatihan dan seleksi Festival Musikalisasi Se-Sumatera adalah SMAN 1 Banda Aceh, SMAN 2 Banda Aceh, SMAN 3 Banda Aceh, SMAN 4 Banda Aceh, MAN Model, SMAN 1 Peukan Bada Ataturk, SMAN 10 Fajar Harapan dan SMA Modal Bangsa. Mereka mulai masuk karantina pertama pada tanggal 26 hingga 28 Februari 2009.

Selama mengikuti pelatihan hanya tujuh sekolah yang berhasil mengikuti pelatihan secara penuh sedang SMA Modal Bangsa hanya mengikuti pelatihan selama 1 jam di tanggal 27/02, dan langsung ikut seleksi di tanggal 28/02.

Iwan Setiawan menilai, Keterlambatan SMA Modal Bangsa dalam mengikuti pelatihan sama sekali tidak beralasan, semestinya ada pemberitahuan sebelumnya kepada panitia penyelenggara bila ada sesuatu dan lain hal yang berlangsung di sekolah.” Pelatihan musikalisasi puisi ini lebih mengutamakan proses pelatihannya ketimbang kehebatan setiap sekolah dalam menggarap musikalisasi puisi. Pelatihan ini bermaksud ingin mengarahkan berbagai hal tentang musikalisasi puisi Aceh yang benar-benar berbeda dengan musikalisasi puisi daerah lain, ke khasan Aceh harus muncul di musikalisasi puisi karya kita dan untuk itu kita akan siasati anak-anak kita untuk membuat kekhasan Aceh itu ada di karya mereka, ini yang kami arahkan., namun apalah artinya jika SMA Modal Bangsa tidak ikut dalam pelatihan, mereka pasti akan tidak mengerti bagaimana format yang nantinya akan kita bawakan dalam festival Se-Sumatera tersebut, “ ujar pelatih dan sekaligus pembina musikalisasi puisi dalam pelatihan musikalisasi puisi untuk ivent Sumatera ini.

Sementara Bram Sembiring yang bertindak sebagai panitia mewakili Balai Bahasa Aceh juga menyayangkan atas tidak ikutsertanya SMA Modal Bangsa secara penuh dalam pelatihan, “Kami hanya memilih peserta pelatihan yang mengikuti proses pelatihan secara penuh, meski kami memberikan juga kesempatan untuk ikut seleksi, namun kami mencatat tidak adanya keseriusan sekolah dalam mengakomodir acara yang kami sudah sampaikan jauh-jauh hari sebelum pelatihan berlangsung, setidaknya kalau SMA Modal Bangsa tidak sempat, maka kami sebagai panitia akan memanggil SMA lain untuk menggantikan kehadiran SMA Modal Bangsa, setidaknya ini bisa menjadi perhatian pihak sekolah di lain waktu.” Ujarnya.

Setelah mengikuti pelatihan selama dua hari, para duta sekolah yang sudah di bekali berbagai teknik musikalisasi puisi di uji dengan puisi “Aku” karya Chairil Anwar. Puisi ini harus diaransmen menjadi bentuk musikalisasi puisi yang benar-benar mengikuti aturan yang di sampaikan dalam pelatihan. Aransmen berupa musik, interpretasi puisi, jenis musik, pola pembacaan puisi, lagu, dan penampilan. Panitia dan para pembina yang terdiri dari Iwan Setiawan, RS.Merahmege, Medri, Ibrahim Sembiring, dan Muhammad Rizki (AA), menyeleksi karya yang sudah di buat duta sekolah sebanyak tiga kali. Hal ini dimaksudkan agar karya mereka menjadi layak dan baik sebelum seleksi final dilakukan.

Menurut RS Merahmege, peserta pelatihan kali ini sangat miskin referensi nada, tidak memiliki kekhasan skil individu dan bermusik juga sangat kaku dalam daya ungkap dan kebebasan menelurkan karya musikalisasi puisi. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya tata aturan yang pernah mereka dalami sebelumnya, baik yang datangnya dari Jakarta yang kini mulai memplot siswa kedalam sebuah wadah yang bernama Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia, maupun dari ketentuan sepihak yang di telurkan oleh orang-orang di dalam komunitas tersebut. “Prinsipnya kita membantah tata aturan yang sengaja di plot orang-orang jakarta karena sangat mengungkung kreatifitas dalam menyajikan musikalisasi puisi. Kita memiliki format sendiri terhadap kesenian yang satu ini, sebab Aceh lebih dulu memiliki musikalisasi puisi ketimbang Jakarta dan kekhasan kita terhadap musikalisasi puisi yang sejak lama kita pertahankan jangan sampai hancur hanya gara-gara pengaruh dari sebuah festival atau ketentuan sepihak yang di tularkan oleh komunitas yang mengikrarkan diri di tahun 2008 lalu.” Ujar Merah

Di hari terakhir pelatihan ke delapan sekolah diseleksi berdasarkan nomor undian yang dicabut sebelum seleksi berlangsung, SMAN 2 Banda Aceh mendapat giliran pertama. Penampilan mereka terkesan sangat bersahaja, alunan musik bergaya spanis mengisi ruangan. Mereka memulai dengan komposisi musik yang baik, namun sangat di sayangkan lonjakan irama yang termuat dalam nada baca puisi mereka abaikan, jadilah musikalisasi mereka tanpa ada kesan sebagaimana yang di inginkan puisi Aku karya Chairil Anwar.

Penampilan berikutnya diisi oleh SMA Modal Bangsa, Puisi Aku Chairil Anwar di aransmen dengan gaya musik balada. Pembacaan puisi yang ditata rapi, dan yang menariknya mereka mampu memberi pola yang cukup baik terhadap setiap kalimat puisi yang ada, namun ketidak-kompakan menjatuhkan mereka di awal dengan teknik masuk yang tidak serentak, selain dari itu komposisi antara musik, lagu dan baca puisi masuk secara bersamaan sehingga harmonisasi terkesan melebar dan sulit untuk di cerna ditambah lagi dengan suara jimbe yang terlalu besar sehingga menutupi suara-suara lainnya.

Sementara SMA 10 Fajar Harapan yang sudah dua kali tercatat mengikuti Festival Musikalisasi Puisi Tingkat Nasional, menyajikan puisi Aku, kedalam format Balada Progresif, mereka dapat mengatur suasana dan komposisi musik serta lagu yang mereka nyanyikan dengan sangat harmonis, meski dengan memukul ember sebagai alat metronom, dua guitar dan satua alat kreasi. Mereka juga berakhir dengan koreksi pada vocal laki-laki oleh para eksekutor.

SMAN 4 Banda Aceh juga tidak ingin kalah dengan penampil sebelumnya, mereka memformat musikalisasi puisi dalam bentuk Pop, alat musik biola dan keyboard yang semestinya mampu mengangkat komposisi musik sama sekali tidak tergarap secara baik, sehingga mengaburkan makna yang tersirat dalam puisi Aku tersebut.

Komposisi yang ditampilkan SMAN 1 Banda Aceh, sangat indah dinikmati, baik lagu maupun pembacaan puisi, mereka menampilkan musik AnB bergaya Afgan atau Ran Band. Karya mereka memang tidak masuk dalam katagori musikalisasi puisi tapi mereka telah mampu membuat format lagu pop Indonesia dengan baik. Sedangkan penampilan ketiga Sekolah lainnya yaitu SMAN 3 Banda Aceh, MAN Model, SMAN 1 Peukan Bada Attaturk, belum dapat berbicara banyak dalam seleksi kali ini.

Dari hasil penilaian eksekutor; RS Merahmege, Ibrahim Sembiring dan Muhammad Rizki, hanya SMAN 10 fajar Harapan yang memenuhi syarat dalam ivent Sumatera, namun pihak Balai Bahasa tidak akan membiarkan anak-anak ini berlatih sendiri. Menurut Teguh Susanto yang saat ini menjabat sebagai kepala Balai Bahasa Aceh, “ SMA yang lulus dalam seleksi ini rencananya akan kita jadikan duta Aceh untuk festival Musikalisasi Puisi Se Sumatera, kami akan terus berkoordinasi untuk latihan mereka selanjutnya, baik dengan para pembina maupun pihak sekolah agar anak-anak kita yang jadi duta Aceh ini tidak memiliki hambatan dalam berlatih sebelum mereka kita berangkatkan ke Medan.” Ujarnya.

Dengan terpilihnya SMAN 10 fajar Harapan maka genaplah prestasi musikalisasi puisi mereka menjadi duta Aceh untuk yang ke empat kalinya, dua tingkat nasional dan menyabet sepuluh besar, dua tingkat Sumatera yang menyabet juara pertama di tahun 2007.


Aceh Sabet Juara Tiga

Festival musikalisasi puisi yang diadakan oleh balai bahasa Sumatera Utara mengukuhkan Aceh sebagai juara ke tiga, hal ini membuat peringkat Aceh naik dua peringkat, dimana di tahun 2008 Aceh hanya mampu menduduki juara ke lima.

Perjuangan anak-anak SMA 10 Fajar Harapan bukanlah mudah, sebab mereka harus menyingkirkan sembilan kontestan yang semuanya pernah mendapat juara di provinsinya masing masing, terutama kontingen Sumatera Utara yang menghadirkan empat group sekaligus.

Dayah, Yuyun, Agung, Aulia, Rahmi dan Imam cukup ketar-ketir menghadapi iven yang ketat ini, pasalnya Dayah yang di jagokan sebagai vocalis utama dan guitar akustik player jatuh sakit sebelum berlomba, demam menyerangnya ditambah dengan gngguan kerasukan satu hari menjelang lomba mberlangsung. Namun berkat bantuan para pelatih dayah dapat normal dan sedikit lebih baik dari awal terserang demam tinggi tersebut.

Aceh mendapat nomor panggil 01, mereka melantunkan komposisi Tanah Air puisi Mohd. Yamin gubahan Rahmad Sanjaya dan Salam Damai (fikar W Eda) juga gubahan Rahmad Sanjaya, baik komposisi musik maupun lagu. Suara lantang dayah yang biasanya terdengar garing kali ini agak sengau, bindeng dan tidak menggigit seperti saat-saat latihan, namun cukup jelas di telinga Fredy Arsy, Irwansyah dan Agus R Sarjono. Kedahsyatan retem Aceh sangat kental dan nyata di panggung Hotel Madani Medan itu, sedikitpun tidak ada suara dari penonton yang ada hanya tepukan kemeriahan saat mereka melantunkan komposisi pertama.

Di komposisi kedua anak-anak Aceh yang hanya berbekal semangat ini merebak kembali suasana Auditorium Hotel Madani, kali ini lebih mengguncang sehingga tak secuilpun orang dapat berkomentar sebelum mereka mengakhiri komposisi Salam Damai (Fikar W Eda) ini.

Selamat untuk Aceh, Tahun depan 2010 engkaulah yang meraih gelar pertama di Pekan Baru.

Rahmad Sanjaya