Jumat, 01 April 2011

Kasmaran 2

Puisi: Rahmad Sanjaya

bagaimana bulan bisa menyinari bumi jika matahari tak ada,
dan entah bagaimana datangnya angin
ketika anak manusia menitipkan pesan cinta lewat hatinya
pada malam dengan bulan yang asyik meninabobokan matahari di peraduannya.
sementara di dahan kering itu pungguk risau
menterjemahkan kesyahduan cinta yang tertuju pada bulan
yang membiaskan cahaya pada awan hitam

Banda Aceh Maret, 2011

Kasmaran 1

Puisi: Rahmad Sanjaya

pagi yang dirubah malam membawa bulan semakin kasmaran
akan nyanyian angin yang menyajikan kegelisahan anak manusia
tentang cinta yang jauh,
berabat sudah dunia memutar waktu
namun tak juga usai derai air mata karena kerinduan cinta,
nestapa dan berkhayal jika berjumpa
menjadi santapan setiap kali dalam kesendirian
aku juga begitu,
hanyut dalam penantian yang tak kunjung nyata,
meski mimpi sudah tak lagi punya berwarna

Banda Aceh Maret 2011

Fukushima


Puisi : Rahmad Sanjaya

Tak terbendung tak terhingga
Tiada daya
Duka itu bernyanyi dengan suara bariton tinggi
Mengaung laksana memecah langit
Menggeram seumpama derap langkah kaki raksaksa
Memijak apa saja yang bernama hidup
Melumat apa saja yang bernama damai
Menelan apa saja yang bernama cinta

Disini kabut menebal ditiap sudut negeri
Awannya merah seperti mata dewa kematian menjemput ajal
Saat puing, mobil, pohon, dan ribuan syair-syair hidup
Menyerbu menyeruak fukushima
Menyapu apa saja tanpa santun
Hanya gemuruh iramanya dan aku mendengarnya hingga ke bathin

Oh fukushima benarkah kau peringatan itu
Benarkah Tuhan mengirimkan cintanya dengan pertanda ini
Disaat ibu-ibu kita, ayah kita, anak kita, nenek kita, kakak kita
Tak kuasa menjemput maut
Tergulung-gulung terombang-ambing
Air hitam legam kiriman surga
Teriakan mereka yang menyatu dengan gumaman siksa
Menyerbu kota seperti  kamikaze menyeru musuh seabad yang lalu
Membom bardir setiap tempat, membumi hanguskan apa saja

Duka ini Fukushima adalah wajah Aceh kami
Yang sama dikirimi cinta dari surga
Dan memanggil semua yang kami cintai tanpa salam terakhir
Dukamu adalah syair lirih dalam sajakku
Kepasrahan dan keiklasan cuma itu satu-satunya kekuatan
Selebihnya hanya kegetiran yang tak kunjung padam menerpa
Maka bangkitlah dengan segenap jiwa dan raga
Kehilangan juga bagian dari awalnya kita mendapatkan yang lebih baik
Sembari kita terus belajar membaca alam ini
Sampai  akhir hayat  juga jangan lupakan Tuhan.

Kutilis sajakku dengan kedalaman duka di bulan maret
Dan biarkan segenap ruh damai menuju singgasananya
Yang kekal dan abadi
Iklaskan.

Banda Aceh Maret 2011

福島県
詩:RahmadのSanjayaさん

あきれた無限大

電源が入っていません
悲しみは高バリトンの歌声です
ブレークのように叫んだ空
トロットは、足を行進の神のようなものです
どのような生活と呼ばれていますトランプル
破砕何が平和と呼ばれる
嚥下ものは愛と呼ばれる

国の各コーナーで厚くここでは霧
死の神の目のような赤い雲が死んでピックアップして
とき破片、車、木、ライブ詩の何千もの
侵略は、福島を押した
マナーがないと何を掃く
だけ鳴るリズムと私は内側からそれを聞いて

ああ、本当に福島の警告
それは神は、この記号で彼の愛を送るというのは本当です
一方私たちの母親、私たちの先祖、子供たち、私たちの祖母、姉妹
電源が死を満たすために
圧延ロール迷う
ウォータージェットブラック天の記事
彼らは運命の雑音とそのブレンドを叫び
襲撃kamikazesのような都市は、一世紀前の敵と呼ばれる
時計じは何を焦がすまで地球に、あらゆる場所を震わせ

福島は、この悲しみの顔たちアチェです
天から送られてくるのと同じ愛
そして最後に挨拶せずにすべての私たちの愛する人を呼ぶ
悲しみは詩私にそっと詩をされ
辞任ただ単に力をする
残りはちょうどそれが打つ苦味を延々と続く
次に、すべてのあなたの魂と体と上昇
負けたことも我々の良くなって、初期の一部です。
我々はこのような性質を読むことを学ぶし続けている間
人生の終わりまでも、神を忘れてはいけません。

私は3月の悲しみの深さを持つ私に詩を書く
そして、王位に平和の全​​体の精神を聞かせて
永遠永遠
患者があります。

バンダアチェ、2011年3月

Minggu, 14 November 2010

Diskusi Terbuka Mulai Membuka Tabir

Forum Diskusi Terbuka yang di adakan seniman 30 Oktober 2010 di Kantin AAC Dayan Dawood merupakan pertemuan kali ke tiga selama dua bulan ini, diskusi yang mengambilstar pada bulan September lalu membicarakan banyak hal tentang seniman dan berbagai pengalaman yang dialami seniman dan budayawan Aceh saat ini terutama paska henkangnya para donator ke Negara masing-masing.

Pada pertemuan diskusi terbuka kali ke tiga ini, peserta forum dihadiri berbagai element, baik dari kalangan seniman, akademik, politikus, wartawan hingga mahasiswa, serta kalangan entertainment. Debra Yatim yang di tunjuk sebagai moderator, mengarahkan forum diskusi yang membahas persoalan marketing seni, syariat islam yang di hubungkan dengan kondisi berkesenian, praktek KKN dalam dunia seni hingga kepada persoalan kemandirian masyarakat seni di Aceh.

Ampon Man (Kamaruzzaman) mengatakan, “seniman tidak akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan kesenian jika persoalan diri mereka tidak pernah tuntas, hal ini mestinya adanya niat baik dari semua seniman untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi akhir-akhir ini seperti persoalan keorganisasian dalam satu meja pembahasan atau perundingan. “saya kira persoalan pokok seniman kita hari ini kurang berani mengambil sikap sehingga banyak hal dibiarkan larut begitu saja tanpa ada penyelesaian yang pasti, hasilnya seniman sendiri yang mengalami kerugian.

Saya kira persoalan keorganisasian hanyalah persoalan yang tidak begitu rumit, karena persoalan ini bukanlah sebesar problem pada saat kita sedang di landa konflik, tetapi problem kesenian ini merupakan perang juga dan tidak bias dikatankan tidak namun perangnya bukanlah perang fisik, tetapi perang mental yang psikologi sifatnya.

Apa salahnya semua seniman duduk bersama , memecahkan berbagai persoalan yang terjadi saat ini, saya berharap adik-adik kita yang saat ini eksis dalam berkesenian hendaknya rukun dalam membangun Aceh yang lebih bermartabat, sebab orang kesenian atau orang yang berbudaya selalu memiliki dasar norma dan prilaku yang baik kepada siapapun.” Demikian Ampon Man

Dalam kesempatan diskusi ini juga beberapa konstituen menyarankan agar semua hasil diskusi diterbitkan secara rutin dan di berikan kepada semua peserta diskusi atau kepada setiap pemangku kebijakan, agar semua pembicaraan tentang seni dan budaya dapat difahami secara bersama-sama.

Rahmad Sanjaya

Sabtu, 02 Oktober 2010

Jambo Kupi Apa Kaoy untuk Kesenian

Hancurnya tempat-tempat kesenian seperti Taman Budaya, Gedung Sosial dan Taman Ratu Syafiatuddin menjadikan tempat kumpul seniman tidak lagi tersentralistik. Kondisi ini semakin mempersulit komunikasi antar seniman dalam menjalankan profesinya sebagai seniman. Penghancuran tempat-tempat berkesenian agaknya terus saja dilakukan pihak-pihak terkait dalam hal ini pemda, Taman Budaya misalnya, tempat ini merupakan central seniman yang setiap hari di jadikan pakalan bagi seniman Banda Aceh untuk berkumpul, bertukar pandangan, bagi job hingga menebar pesona dan isyu, tempat yang sudah di renovasi BRR di tahun 2007 ini sama sekali tidak terpakai dengan baik, padahal Taman Budaya merupakan Laboraturium kesenian seperti layaknya daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki Taman Budaya. Namun Pemda Aceh dan dinas terkaitnya seperti enggan memanfaatkan sarana ini dengan sebaik mungkin.

Dengan di tinggalkannya Taman Budaya oleh para seniman, seniman jadi tidak lagi dapat bertemu seperti dulu, sehingga proses berkarya juga semakin minim. Katakanlah saat ini teknologi mendukung para seniman untuk berinteraksi seperti HP dan Internet baik melalui email maupun facebook, namun semua itu tidaklah cukup, karena dunia seniman di Aceh adalah dunia interaksi fisik bukan interaksi maya.

Di tengah kekisruhan tempat berkumpul, MY. Bombang yang di kenal sebagai pe- HIM Aceh menawarkan solusi untuk tempat berinteraksi secara fisik , siapa saja boleh ketempat ini tidak terkecuali seniman. Jambo Kupi Apa Kaoy sejauh ini efektif menjadi basecampnya seniman bukan hanya seniman ternyata yang berkumpul di sini, JaKAP juga tempat berkumpulnya para mahasiswa dan intelektual muda.

Untuk menu andalan JaKAK menawarkan Kanji Rumbi sejenis bubur khas Aceh, Mie dengan berbagai rasa, Kopi Gayo dan Kopi Ulee Kareng, semua ini di sajikan setiap hari, bahkan JaKAP juga menyediakan tempat diskusi dan latihan seni bagi para seniman. Harga makanan dan minuman di patok dengan harga berpariasi, Apa Kaoy mengatakan di dalam segelas kopi yang di sajikan ada dana untuk kesenian lima ratus rupiah dan para penikmat kopi yang hadir di JaKAK gratis menikmati dunia maya jika membawa laptop. Penawaran ini semata-mata hanya untuk memanjakan pelanggan untuk berekses ria di dunia maya.

JaKAK yang didirikan atas prakarsa Apa Kaoy ini belum sepenuhnya selesai, di beberapa bagian Jambo masih belum terbangun dengan semestinya, Apa Kaoy mengatakan mereka sangat terbatas dana, sehingga pembangunan jambo mau tak mau harus di lakukan secara perlahan-lahan.

Rahmad Sanjaya

Jumat, 01 Oktober 2010

Banda Aceh


Inilah wajahmu dan wajah ku
Yang terpampang di setiap pamplet kota
bersahaja, damai bahkan terus tersenyum
Matanya yang begitu sayu, bibir yang begitu merekah
Birahi setiap kali orang melihatnya

Tubuhnya yang dibelah sungai
Membendung rindu tatkala jauh darinya
Namun itu dulu, jauh sebelum tsunami menyibak
Keperawanannya

Inilah isyarat Sang Dewi yang tak lagi suci
Tubuhnya yang pernah menyinari setiap bunga-bunga di taman
Berganti kekusaman yang tak habis-habis
Hingga burung-burung madu tak lagi bercicuit
diantara bunga-bunga kembang sepatu
Keanggunan rambut yang terurai panjang yang dulu
Selalu meyejukkan rerumputan ketika tersentuh
kini berganti sebagai pemusnah ketika bersentuhan dengan apa saja

Inilah kotaku
Bandar wisata islami kata para birokrat , dijaga para aparat
dan di aminkan para ustad
Yang ditumbuhi kedustaan berbalut Islam
Maka bertanggungjawablah untuk nama ini
Karena kita tak pernah punya contoh baik
atas penobatan nama ini

kotaku telah lama tersesat oleh predikat
semoga laknat tak berjuntai di rongga dada kita

Rahmad Sanjaya
Banda Aceh September 2010

Why ( Kenapa Kita...)


Kebanggaan menjadi orang Aceh terletak hanya dalam tiga kata, yang pertama Agama, kedua Pendidikan dan ketiga Budaya. Kebanggaan telah menjadi darah daging bagi kita orang Aceh dimanapun berada, bahkan kerap kebanggaan tersebut menjadi simbul perjuangan hidup dalam setiap men-jalankan usaha.
Dalam diri setiap orang Aceh jika sudah tersemat tiga item di atas maka tidak lagi dapat dipungkiri, betapa berjiwa besarnya individu tersebut mengimbangi kehidupan sehari-hari, betapa agungnya marwah individu tersebut jika berada di tiap tempat dan betapa berkilaunya nama orang yang menganut 3 pilar tersebut dimana-mana, semua itu merupakan bukti atas ketulus-iklasan dalam kehidupan bermasya-rakat dan tentunya tidak sia-sialah generasi terdahulu memperjuangkan tiga nilai luhur ini.
Jepang adalah sebuah Negara di Asia Pacifik yang sangat maju dengan peradaban modern saat ini, Negara tersebut hanya menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, dan meng­apli­kasikannya secara bijak di setiap lini kehidupan mereka, tidak terkecuali, rakyat kelas bawah hingga pemerintahnya menganut kesepahaman atas pendidikan yang menyeluruh berdasarkan apa yang di sebut Hirohitu seusai jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, “berapa Guru yang tersisa…”, nah dari sinilah semua itu bermula, pendidikan dengan bersimbol guru maka jadilah Jepang Negara yang maju dan terus berkembang seiring zamannya.
Lalu bagaimana dengan Aceh yang tidak hanya pendidikan sebagai moto, maklumat atau arah persesuaian hidupnya, tetapi agama dan budaya yang menjadi pilar kokoh yang seakan menjadi deteksi setiap virus atau bakteri apapun yang mengancam setiap keutuhan Aceh. Tapi apakah sudah pasti ketiga pilar kokoh itu sudah digunakan sebaik-baiknya? Wah… ini lah persoalan.
Di dalam aplikasi dan kenyataan spertinya ketiga pilar tersebut belum di jalankan secara jujur oleh setiap individu di Aceh, banyak factor yang mendikotominya, menelaahnya bahkan mengejawantahkannya ke dalam aplikasi yang salah. Agama saja tidak cukup untuk me­­n-ya­­darkan orang yang tidak berpendidikan dan berbudaya, tidak cukup hanya berpenddikan sementara agamanya dan budaya tidak me­-ngajarkan mereka untuk tidak tindak kejahatan, korup dan sewenang-wenang dan tidak cukup pula hanya berbudaya tanpa berpijak atas dasar-dasar agama dan berbagai petuah-petuah budaya yang saling mengikat satu sama lain.
Mari kita saksikan apa yang sedang terjadi saat ini secara detail, apa yang terkikis dalam kehidupan kita dan apa yang hilang diantara kehidupan kita saat ini, semua kenyataan yang ada ini akibat dari ketiga pilar itu sudah semakin tua dan tidak siapapun yang merenovasinya, pilar-pilar itu di biarkan kusam dimakan ke-sewenangan, korup, dan kejahatan-kejahatan setiap individu yang kerap memandang gengsi lebih utama ketimbang ketiga pilar ini sehingga Aceh mengalami banyak dekadensi moral, eporia berlebih dan haus untuk memperkaya diri dari milik masyarakat.
Aceh ini milik kita, milik sah orang Aceh, tetapi mengapa kita tidak membangunnya dengan gaya keAcehan. Kenapa hukum texas, hukum rimba, hukum individu atau kelompok yang lebih diutamakan. Sudahlah, yang kaya marilah membantu yang miskin dan yang miskin jangan berprasangka buruk dengan yang kaya, jalankan keseimbangan kita menururut tatanan Agama, Pendidikan dan Budaya. Mari kita pelajari, lalu jalankan dan hasilnya Aceh menjadi daerah yang lebih baik.
Rahmad Sanjaya