Sabtu, 02 Oktober 2010
Jambo Kupi Apa Kaoy untuk Kesenian
Dengan di tinggalkannya Taman Budaya oleh para seniman, seniman jadi tidak lagi dapat bertemu seperti dulu, sehingga proses berkarya juga semakin minim. Katakanlah saat ini teknologi mendukung para seniman untuk berinteraksi seperti HP dan Internet baik melalui email maupun facebook, namun semua itu tidaklah cukup, karena dunia seniman di Aceh adalah dunia interaksi fisik bukan interaksi maya.
Di tengah kekisruhan tempat berkumpul, MY. Bombang yang di kenal sebagai pe- HIM Aceh menawarkan solusi untuk tempat berinteraksi secara fisik , siapa saja boleh ketempat ini tidak terkecuali seniman. Jambo Kupi Apa Kaoy sejauh ini efektif menjadi basecampnya seniman bukan hanya seniman ternyata yang berkumpul di sini, JaKAP juga tempat berkumpulnya para mahasiswa dan intelektual muda.
Untuk menu andalan JaKAK menawarkan Kanji Rumbi sejenis bubur khas Aceh, Mie dengan berbagai rasa, Kopi Gayo dan Kopi Ulee Kareng, semua ini di sajikan setiap hari, bahkan JaKAP juga menyediakan tempat diskusi dan latihan seni bagi para seniman. Harga makanan dan minuman di patok dengan harga berpariasi, Apa Kaoy mengatakan di dalam segelas kopi yang di sajikan ada dana untuk kesenian lima ratus rupiah dan para penikmat kopi yang hadir di JaKAK gratis menikmati dunia maya jika membawa laptop. Penawaran ini semata-mata hanya untuk memanjakan pelanggan untuk berekses ria di dunia maya.
JaKAK yang didirikan atas prakarsa Apa Kaoy ini belum sepenuhnya selesai, di beberapa bagian Jambo masih belum terbangun dengan semestinya, Apa Kaoy mengatakan mereka sangat terbatas dana, sehingga pembangunan jambo mau tak mau harus di lakukan secara perlahan-lahan.
Rahmad Sanjaya
Jumat, 01 Oktober 2010
Banda Aceh
Inilah wajahmu dan wajah ku
Yang terpampang di setiap pamplet kota
bersahaja, damai bahkan terus tersenyum
Matanya yang begitu sayu, bibir yang begitu merekah
Birahi setiap kali orang melihatnya
Tubuhnya yang dibelah sungai
Membendung rindu tatkala jauh darinya
Namun itu dulu, jauh sebelum tsunami menyibak
Keperawanannya
Inilah isyarat Sang Dewi yang tak lagi suci
Tubuhnya yang pernah menyinari setiap bunga-bunga di taman
Berganti kekusaman yang tak habis-habis
Hingga burung-burung madu tak lagi bercicuit
diantara bunga-bunga kembang sepatu
Keanggunan rambut yang terurai panjang yang dulu
Selalu meyejukkan rerumputan ketika tersentuh
kini berganti sebagai pemusnah ketika bersentuhan dengan apa saja
Inilah kotaku
Bandar wisata islami kata para birokrat , dijaga para aparat
dan di aminkan para ustad
Yang ditumbuhi kedustaan berbalut Islam
Maka bertanggungjawablah untuk nama ini
Karena kita tak pernah punya contoh baik
atas penobatan nama ini
kotaku telah lama tersesat oleh predikat
semoga laknat tak berjuntai di rongga dada kita
Rahmad Sanjaya
Banda Aceh September 2010
Why ( Kenapa Kita...)
Kebanggaan menjadi orang Aceh terletak hanya dalam tiga kata, yang pertama Agama, kedua Pendidikan dan ketiga Budaya. Kebanggaan telah menjadi darah daging bagi kita orang Aceh dimanapun berada, bahkan kerap kebanggaan tersebut menjadi simbul perjuangan hidup dalam setiap men-jalankan usaha.
Dalam diri setiap orang Aceh jika sudah tersemat tiga item di atas maka tidak lagi dapat dipungkiri, betapa berjiwa besarnya individu tersebut mengimbangi kehidupan sehari-hari, betapa agungnya marwah individu tersebut jika berada di tiap tempat dan betapa berkilaunya nama orang yang menganut 3 pilar tersebut dimana-mana, semua itu merupakan bukti atas ketulus-iklasan dalam kehidupan bermasya-rakat dan tentunya tidak sia-sialah generasi terdahulu memperjuangkan tiga nilai luhur ini.
Jepang adalah sebuah Negara di Asia Pacifik yang sangat maju dengan peradaban modern saat ini, Negara tersebut hanya menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, dan mengaplikasikannya secara bijak di setiap lini kehidupan mereka, tidak terkecuali, rakyat kelas bawah hingga pemerintahnya menganut kesepahaman atas pendidikan yang menyeluruh berdasarkan apa yang di sebut Hirohitu seusai jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, “berapa Guru yang tersisa…”, nah dari sinilah semua itu bermula, pendidikan dengan bersimbol guru maka jadilah Jepang Negara yang maju dan terus berkembang seiring zamannya.
Lalu bagaimana dengan Aceh yang tidak hanya pendidikan sebagai moto, maklumat atau arah persesuaian hidupnya, tetapi agama dan budaya yang menjadi pilar kokoh yang seakan menjadi deteksi setiap virus atau bakteri apapun yang mengancam setiap keutuhan Aceh. Tapi apakah sudah pasti ketiga pilar kokoh itu sudah digunakan sebaik-baiknya? Wah… ini lah persoalan.
Di dalam aplikasi dan kenyataan spertinya ketiga pilar tersebut belum di jalankan secara jujur oleh setiap individu di Aceh, banyak factor yang mendikotominya, menelaahnya bahkan mengejawantahkannya ke dalam aplikasi yang salah. Agama saja tidak cukup untuk men-yadarkan orang yang tidak berpendidikan dan berbudaya, tidak cukup hanya berpenddikan sementara agamanya dan budaya tidak me-ngajarkan mereka untuk tidak tindak kejahatan, korup dan sewenang-wenang dan tidak cukup pula hanya berbudaya tanpa berpijak atas dasar-dasar agama dan berbagai petuah-petuah budaya yang saling mengikat satu sama lain.
Mari kita saksikan apa yang sedang terjadi saat ini secara detail, apa yang terkikis dalam kehidupan kita dan apa yang hilang diantara kehidupan kita saat ini, semua kenyataan yang ada ini akibat dari ketiga pilar itu sudah semakin tua dan tidak siapapun yang merenovasinya, pilar-pilar itu di biarkan kusam dimakan ke-sewenangan, korup, dan kejahatan-kejahatan setiap individu yang kerap memandang gengsi lebih utama ketimbang ketiga pilar ini sehingga Aceh mengalami banyak dekadensi moral, eporia berlebih dan haus untuk memperkaya diri dari milik masyarakat.
Aceh ini milik kita, milik sah orang Aceh, tetapi mengapa kita tidak membangunnya dengan gaya keAcehan. Kenapa hukum texas, hukum rimba, hukum individu atau kelompok yang lebih diutamakan. Sudahlah, yang kaya marilah membantu yang miskin dan yang miskin jangan berprasangka buruk dengan yang kaya, jalankan keseimbangan kita menururut tatanan Agama, Pendidikan dan Budaya. Mari kita pelajari, lalu jalankan dan hasilnya Aceh menjadi daerah yang lebih baik.
Rahmad Sanjaya
Menjadi Komponis Lewat Musikalisasi Puisi
Aceh merupakan daerah potensial untuk tumbuh kembangnya seni budaya apapun bentuk seninya, begitu pula dengan musikalisasi puisi. Seni musikalisasi puisi adalah seni perpaduan antara seni musik dan sastra terutama puisi.
Musikalisasi Puisi di Aceh sudah menampakkan jati dirinya sejak tahun 1983 saat itu musikalisasi puisi bernama musik kreatif, namun di tahun 1988 teater mata menamakan seni yang satu ini sebagai musikalisasi puisi. Jelas kini musikalisasi puisi di Aceh lebih awal berapa tahun dari pada daerah lain yang rata-rata mengembangkan seni ini di tahun 1990.
Pengembangan musikalisasi puisi di Aceh dimulai oleh Bengkel Musik Batas yang saat ini telah menghasilkan banyak generasi baik dalam konsep musik Aceh maupun dalam konsep musikalisasi puisi. Dan dari para pengajar dalam pelatihan ini generasi musikalisasi puisi inilah yang membantu mewujudkan program ini dari Januari hingga Maret 2010 sampai program klas minor (dasar) ini selesai dengan sempurna.
Dari pelatihan yang dilakukan oleh Komunitas Rumah Sawah akhirnya terjawab sudah, Banyaknya kelemahan dan penyimpangan dalam mengkomposisi musikalisasi puisi. Semua ini diakibatkan banyaknya masukan dari luar Aceh yang simpang siur tanpa ada penjelasan yang utuh, sementara antusias para pelajar akan Musikalisasi Puisi sangat besar.
Dalam pelatihan ini juga di temukan, bahwa setiap pelajar tidak mengerti apa sebenarnya musikalisasi puisi, bagaimana mengkomposisi musikalisasi puisi ketika berhadapan dengan puisi-puisi yang di tawarkan dalam pelatihan.
Semua ini lumrah adanya, karena dunia musikalisasi puisi Aceh sejak tahun 2000 hingga 2006 mengalami pembiaran dalam segi pelatihan, sehingga banyak generasi Musikalisasi Puisi di Aceh mencari-cari sendiri konsep tanpa mengetahui dasar-dasar yang pasti dalam musikalisasi puisi, sebenarnya sejak tahun 1992 -1999 Bengkel Musik Batas adalah kelompok seniman yang aktif membina, memberi pelatihan kepada siswa dan guru-guru kesenian dari berbagai sekolah, namun hasil dari pelatihan tersebut sama sekali tidak diperdulikan guru-guru kesenian tersebut, seharusnya hasil pelatihan ini terus di galakkan kepada setiap generasi pelajar yang baru di tiap sekolah agar pemahaman sastr terutma puisi tidak hanya sekedar tinggal di buku-buku antologi puisi yang tersantir di rak-rak perpustakaan.
Agaknya generasi sastra yang inovasi harus terus di galakkan di Aceh terutama terhadap generasi potensial yang saat ini sebagian besar berada di SMP dan SMA, karena musikalisasi puisi tidak hanya mendidik para pelajar untuk berkreatifitas namun melalui sastra puisi mereka dapat mensiasati diri sebab di musikalisasi puisi selalu diawali dengan pengupasan puisi sebelum membuat komposisi musik, maka dengan berbagai penjelasan yang dilakukan oleh para pengajar disanalah di selipkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap kalimat puisi, sehingga manfaat ganda mempelajari musikalisasi puisi dapat secara langsung diterima oleh para pelajar.
Antusias para pelajar di Banda Aceh dalam mempelajari Musikalisasi Puisi sangatlah besar, namun semangat mereka pelan-pelan meredup karena pihak sekolah tidak mengizinkan anak-anak didiknya mempelajari musikalisasi puisi. Seperti yang diungkapkan siska salah seorang peserta pelatihan Musikalisasi Puisi di Taman Budaya, Kepala sekolah mereka tidak ingin ada musikalisasi Puisi di sekolah mereka, alasannya kepala sekolah mereka, Musikalisasi Puisi itu tidak penting sebab tidak ada dalam Ujian Nasional, jadi tidak begitu penting itu Musikalisasi Puisi, Ujar Siska menirukan kepala sekolahnya.
Lain Siska lain pula Fitri, siswi kelas dua di salah satu SMA di Aceh Besar mengatakan, kepala sekolahnya dulunya pernah mengikuti berbagai ajang lomba Musikalisasi Puisi, tapi sebelum dia jadi kepala sekolah, saat itu dialah guru yang paling getol memperjuangkan musikalisasi puisi di sekolah kami, sampai-sampai dia kerap memaksakan idenya kepada kepala sekolahnya terdahulu, tapi sejak dia jadi kepala sekolah musikalisasi puisi kami semakin meredup dan tidak pernah lagi dapat juara, urai Fitri.
Pelatihan di luar sekolah memang jadi penomena besar bagi setiap siswa – siswi SMA maupun SMP, mereka harus mendapat restu dari guru maupun kepala sekolah. Tetapi pelatihan yang dilakukan di luar sekolah, agaknya tidak berbenturan dengan jadwal klas mereka di sekolah, para pelatih mengambil hari libur untuk pelatihan musikalisasi puisi seperti ini, itupun juga menjadi persoalan besar bagi guru dan kepala sekolah. Sehingga para pelajar enggan untuk mengikuti pelatihan.
Anehnya pada saat ada lomba atau festival, berduyun-duyunlah semua sekolah mendaftarkan sekolah mereka jadi peserta, maka jelaslah kegiatan pendidikan ekskul, terutama musikalisasi puisi ada intervensi dari guru dan kepala sekolah, namun mereka hanya memberi peluang untuk mengikuti ajang lomba saja tanpa persiapan yang matang.
Agaknya kegiatan ekskul pelajar harus di format sedemikian rupa oleh para penentu pendidikan di Aceh, agar para pelajar kita dapat berbagai hal selama mereka jadi pelajar. Biarkan para mereka berkembang sesuai bakat dan minat mereka,mungkin ini lebih baik.
Rahmad Sanjaya