Selasa, 03 Maret 2009

Ie Mata Gaza

Seniman Aceh Bantu Palestina

Save Palestina, masih terus menggeliat di Aceh, ajang kemanusian ini menjadi mata kegiatan seniman Aceh akhir-akhir ini. tercatat sudah tiga kali peristiwa serupa di gelar dengan Event organizer yang berbeda; satu di Lhoukseumawe, dan dua di Banda Aceh. Palestina harus kita bantu, seperti kita di bantu banyak negara ketika bencana tsunami menghantam Aceh, rasa kemanusian mereka tidak lagi memandang suku, agama, warna kulit dan kepentingan, semuanya semata-mata karena rasa kemanusiaan yang tinggi, demikian komentar banyak seniman yang terlibat dalam beberapa kegiatan kemanusiaan penggalangan dana untuk Palestina.

Ie Mata Gaza yang kali ini di gelar di Taman Ratu Safiatuddin 14/02 merupakan acara save palestina yang menyedot masa cukup banyak. Teknik penggalangan dana yang dilakukan panitia berlangsung empat hari sebelum hari pertunjukan berlangsung, baik dengan cara penjualan tiket maupun undangan VIP, menariknya dalam penjualan tiket seharga Rp 5.000, Rp. 7.000, maupun 100.000,- setiap pembeli akan mendapat satu buah kartu perdana 3 (tree).

Acara yang bermoto Artih Aceh Peureumeun Palestina ini di buka oleh Wagub M. Nazar dan di hadiri pula oleh Ketua Kadin Firmandez, Ketua DKA, Teuku Kamal S dan Wakil Walikota Sabang, Islamuddin Ismady dan beberapa penentu kebijakan NAD, merupakan acara yang di prakarsai oleh AIRA (Asosiasi Industri Rekaman Aceh) dengan mengerahkan artis-artis; Eumpang Breuh, Liza Aulia, Bergek, Said Jaya, Marwan, Sabirin Lamno, Cut Adek Zia, Dedek Wahyudi, Dewi.S, Syeh Wan, Cagok Apa Gense, Syeh Min Cakradonya, Andi Bidjeh and friend, Peunana Band, Seuramo Regge, Coda, Saleum, Raket, Ratoh, dan Magot Band. Sedangkan untuk pembacaan puisi dilakukan oleh Ampuh Devayan. Acara ini pula dihadiri oleh Fikram Singh artis cilik Aceh yang bermain dalam sinetron Suami-suami Takut Istri.

Di bagian lain pertunjukan terselip para suporter dan pendukung yang tidak kalah pentingnya bagi terwujudnya acara ini, seperti Tree GSM yang menyuplai ribuan kartu perdana GSM Tree lewat pembelian tiket, The Gade’s Sound System yang mengerahkan 40 000 watt dan lighting, Tallo, Yamaha dan masih banyak para pendukung yang acara yang secara iklas menyumbang peralatan dan kemampuan kerja agar acara penggalangan dana ini terselenggara dengan baik.

Menurut Syech Gazali, ide membuat acara Ie Mata Gaza ini berawal dari keprihatinan kawan-kawan seniman ketika melihat serangan yang bertubi-tubi dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. “ Saat itu beberapa kawan-kawan seperti Salman, Sarjev, Maimun, ardabilli dan saya mencoba menggagas acara ini, semula kami ingin menggunakan Kasga sebagai lembaga penyelenggara, namun belakangan berkat saran dari kawan-kawan yang antusias ingin ikut serta, kami pakailah AIRA sebagai lembaga yang mensuport Acara ini.” ujarnya.

Lebih jauh Syech Gazali mengatakan, tidak hanya pada penjualan tiketing yang kita andalkan dalam pengumpulan dana, namun AIRA juga melakukan pelelangan produk industri rekaman Aceh yang terdiri dari kaset, VCD dan produk lainnya dan pada malam pertunjukan akan diedarkan kotak amal.

Dibagian lain Sarjev (musisi rock) yang di daulat sebagai manager pertunjukan mengatakan, “Suguhan yang nantinya akan berjalan adalah pertunjukan musik, lawak dan baca puisi. Dari banyaknya jumlah pengisi acara panitia akan membagi dua panggung; ada panggung sore dan ada yang panggung malam. Pentas Amal yang mengunakan banyak elemen masyarakat dan simpatisan ini akan besar dan meriah, apalagi diantara para pendukung artis yang tampil telah memiliki penonton sendiri-sendiri. Ujar Sarjev.

14 Februari malam merupakan malam yang panjang bagi segenap penonton yang memenuhi arena Taman Ratu Safiuatuddin, desak-desakan sempat terjadi di depan panggung yang bertepatan dengan didirikannya tenda untuk duduk para tamu VIP. Penonton yang sudah tidak sabar menantikan pertunjukan akhirnya disuguhi dengan pidato-pidato yang sangat membosankan, sorakan tidak puas meluncur diarena kiri pentas namun panitia dapat meredam riuh rendahnya massa, dengan penampilan gurauan Udin Pelor yang bercerita tentang Palestina lewat gaya tukang Obatnya.

Coda mendapat kesempatan pertama tampil, dengan komposisi drum yang sangat memukau, ditambah lagi dengan cae yang dilantunkan ceh Min cakradonya, ruang pertunjukan mulai menghangat, penonton seakan lupa pada penantiannya sejak lepas Isya tadi. Setelah Coda menuntaskan satu seison muncul dari pinggir panggung Liza Aulia, kali ini dia melantunkan Lagu andalannya Kutiding, yang langsung di sambut dengan gemuruh dan sorak sorai para penonton. Dengan hentakan drum, genderang dan Djimbe dari para personil Coda, Liza Aulia pun semakin semangat menyanyikan lagu andalannya. Bagian ini semakin terkombinasi ketika Ampuh Devayan membacakan puisinya yang berjudul Palestina kemudian disusul dengan penampilan Dara yang menyanyikan lagu Jose Groban dengan sangat anggun.

Antusias penonton semakin merajalela di depan pentas sehingga para wartawan baik media cetak dan elektronik serta tamu VIP tak kuasa mengikuti jalannya pentas dengan baik, Para penonton tersebut semakin merapat ke depan panggung saat Seuramo Regge menyannyikan lagunya.

Beberapa penonton yang sempat di jumpai Sipil mengatakan, “Acara palestina kali ini cukup meriah, meski acara amal, namun artisnya banyak yang menjadi idola kami, misalnya Eumpang Breuh yang sengaja kami nantikan penampilannya, apalagi ada Sabirin Lamno yang sudah lama tidak kami lihat dia muncul di depan publik,” ujar Azhari (28).

Sementara, Nyak Dara yang membawa semua anggota keluarganya juga menantikan pemunculan Empang Breuh dalam acara ini mengatakan, “ Saya bawa semua anggota keluarga untuk menonton acara ini, meski sempat terjepit tadi di antara penonton yang berjubel, saya tetap akan menyaksikan acara ini sampai tuntas, Kami sekeluarga ingin lihat Eumpang Breuh tampil di depan mata kami, “ urainya.

Semakin malam semakin banyak saja para penonton yang datang, dari keterangan yang disampaikan panitia tiket saja habis terjual 1000 ribu lembar belum lagi tiket VIP. Dan dari pengumpulan dana kali ini agaknya lebih 100 juta urainya, namun ketika ditanya angka yang pasti panitia menjawab sampai saat ini kami tidak mendapatkan kabar berapa jumlah dana yang terkumpul malam itu, karena masih ada lagi rentetan acara lainnya yang akan di gelar AIRA di Aceh Barat.

Inseden Lewat Waktu

ketua panitia Syec Gazali di awal laporannya kepada masyarakat mengatakan, jadwal pertunjukan Ie Mata Gaza ini hanya sampai pukul 23.00 wib, padahal ketika Syec Gazali berpidato waktu sudah menunjukan 21.13 Wib, sementara para artis satu pun belum ada yang naik pentas memperlihatkan kebolehannya. Sarjev yang bertindak menjadi manager pertunjukan juga merasakan kekhawatiran yang luar biasa, karena waktu yang dia miliki hanya sedikit akibat menunggu kedatangan Tamu VIP, “Saya tidak bisa mengelak dengan kondisi seperti ini, para artis yang jauh-jauh datang dari berbagai daerah belum juga tampil saat itu, bagi kami sangat sayang kalau mereka tidak tampil, sementara waktu yang tersedia sudah habis, izin kita hanya sampai pukul 23.00 wib saja. Tapi semuanya adalah resiko kita, teguran kepolisian kepada kami juga merupakan hal yang perlu di perhatikan, memang suasana semakin tidak menentu saat itu ketika saya di paksa meninggalkan arena pentas, namun dapat diantisipasi dengan baik oleh panitia yang lain. Intinya acara Ie Mata Gaza ini sukses dan kami panitia mengucapkan terima kasih kepada seluruh seniman dan para pendukung acara ini”Urai Sarjev

Ie Mata Gaza, merupakan pentas amal ketiga yang di prakarsai seniman, setelah para seniman tradisional seperti Murtala, Andi Bidjeh, Ilyas melakukan ngamen di berbagai tempat di kawasan Banda Aceh, kemudian yang kedua adalah Pentas peduli Palestina yang di lakukan di Taman Budaya yang menampilkan para musisi Jass, Rock, Blues dan Tradisional di tambah lagi dengan pelelangan lukisan Mahdi Abdulah. Dan dalam waktu dekat para seniman daerah akan melalukan pertunjukan amal yang sama di Meulaboh dan Loukseumawe.

Kepedulian Seniman Aceh terhadap kontek sosial di belahan Timur Tengah semakin nyata, lewat karya-karya mereka seniman dapat mampu berbuat untuk sesuatu yang mengharumkan nama daerah Aceh di kancah internasional, agaknya peran serta seniman Aceh ini harus diambil positifnya bagi banyak pihak di Nanggroe ini, bukan malah menghambat dan menghujat hanya gara-gara satu dua kesalahan. Prinsipnya seniman telah berbuat, siapa lagi yang akan menyusul.

Rahmad Sanjaya

Kosma In The Actions Plan

Seniman Sawoe Gampoeng

KOSMA Sosialisasi Untuk Para Penyandang Cacat

Hiburan yang di lakukan kepada masyarakat pedesaan terus saja di lakukan oleh para seniman Aceh, tidak pernah putus hingga saat ini. Para seniman Aceh menilai, masyarakat Aceh yang berdomisili di pedesaan sangat memerlukan informasi dan hal-hal yang bersifat hiburan yang dapat memberikan efek positif terhadap pemikiran sederhana orang desa.

Setelah empat tahun paska tsunami, program Sawoe Gampoeng yang dilakukan seniman Aceh tidak terdengar lagi kabar beritanya, alasan mereka tidak ada lagi donator yang mau membiayai program tersebut, namun Kosma (Komunitas Seniman Muda Aceh), masih melakukan program Sawoe Gampong ini. Kali ini Kosma mengangkat isu Sosialisasi untuk Penyandang Cacat dengan daerah cakupan berada di wilayah Aceh Besar seperti Lamnga, I' su'eum, Ladong, Jrong Penjera, Lamtengo, Lambaro, Lamkawe, Punie, Kuta karang, Pante Raja, Dilip Bukti, Buklok, Lheu, Sepat Baro, Seulimum, Lamteba.

Iwan Setiawan selaku Komandan Kosma yang sekaligus Koordinator program mengatakan pada Sipil, sosialisasi ini sebenarnya lanjutan program tahun kemarin, kali ini kita bersosialisasi di 16 desa. Sosialisasi ini sudah kita lakukan sejak 11 januari 2009 lalu dan akan berakhir pada 7 Maret 2009.” ujarnya

Iwan menambahkan, ketertarikan mereka atas program ini karena rasa kemanusian. Mahluk sosial itu perlu berinteraksi dengan semua orang, tanpa kecuali, maka dari itu Kosma membuat program ini. Iwan juga mengatakan seberapa besarkah kepedulian kita terhadap saudara-saudara kita yang cacat, baik cacat sejak lahir, cacat karena konplik atau cacat karena tsunami. Pada umumnya mereka yang mengalami cacat itu akan minder baik secara pribadi maupun secara keluarga. Maka dari itu Kosma yang bekerja sama dengan Handicap dan PIDA ingin menuntun mereka pada wilayah yang lebih positif dan meyakinkan mereka bahwa penyandang cacat juga mampu berbuat lebih dari orang-orang yang normal.

Dalam bersosialisai, Kosma menggunakan media seni teater untuk mengantarkan berbagai pengertian kepada masyarakat pedesaan, Kosma membuat mini drama yang berisikan pesan-pesan yang langsung menggugah kehidupan masyarakat Gampoeng. Dengan berbalut hiburan rakyat itulah Kosma mendapat acungan jempol dari aparat desa dan tidak jarang setelah sosialisasi mereka usai ibu-ibu, aparat desa dan anak-anak sesugukan sedih melepas kepergian mereka.

” Yang paling berkesan bagi saya, ketika kami akan meninggalkan desa Lamnga, para ibu-ibunya memberikan kami lontong sayur, kata ibu-ibu itu kami tidak bisa membayar apapun atas kehadiran kami di desanya, hanya lontong sayur inilah yang kami punya semoga adik-adik jangan bosan datang ke desa kami ini. Saya langsung terenyuh dan tidak dapat berkata apa-apa lagi, bagi saya inilah penghargaan yang paling tinggi selama ini bagi kami, karena ibu-ibu itu memberi atas dasar keiklasan dan terima kasih yang setinggi-tingginya atas kehadiran kami di desa mereka.” urai Iwan.

Daya pikir dan nalar Seniman Muda Aceh yang tergabung dalam Kosma ini juga sangat brilian, mereka sanggup merangkul masyarakat gampoeng hampir ke seluruh pelosok, untuk menyaksikan sosialisasi mereka baik di balai desa maupun di lapangan desa. Terbukti setiap kali mereka hadir di desa penontonnya cukup lumayan banyak dan antusias. Seniman muda ini juga melakukan sosialisasi melalui porster dan spanduk agar masyarakat desa tahu mereka akan datang,

Fuad mengatakan sebelum Kosma tampil di tiap desa, tim promosi Kosma menjumpai kepala desa, setelah mendapat izin tim promosi menepelkan poster dan membuat pengumuman secara manual kepada setiap penduduk desa, dan ini dilakukan sebelum jadwal sosialisasi dilakukan.

”Selama kami melakukan sosialisasi sebelum pertunjukan, kami tidak mengalami kendala apapun, yang ada hanya antusias aparat desa yang kami lihat. Hampir semua desa yang kami datangi memberikan respon positif atas kegiatan ini.” ujar Fuad

Dari hasil Sawoe Gampoeng Kosma di beberapa desa di Aceh besar sudah nampak terlihat kemandirian beberapa penyandang cacat yang dulunya takut berinteraksi dalam masyarakat gampoeng sudah mulai berbaur dan mengerjakan banyak hal di desanya, beberapa orang yang di jumpai Kosma mengatakan akan merubah pola hidup mereka dari ketergantungan dengan keluarga menjadi kreatif dan mandiri, seperti laiknya masyarakat yang berdomisili di gampoeng mereka.

Rahmad Sanjaya

Pentas Peduli Palestina

Pentas Peduli Palestine

Satu Nada Untuk Palestine

Damai di Aceh Damai di Palestina itulah moto para seniman di Banda Aceh dalam menggelar acara Peduli Palestina 17 Januari yang lalu. Banyak suguhan pentas seni yang mereka rancang, namun karena keterbatasan waktu dan kesibukan seniman dalam beberapa program yang harus mereka penuhi, Pentas Peduli Palestine hanya dilakukan satu hari saja, yang mengetengahkan pentas musik.

Menurut T. Yanuarsyah (seniman Teater) yang didaulat sebagai sutradara Pentas Peduli Palestine ini, Acara spontanitas ini sangat berarti bagi kita kalangan seniman, disamping adanya rasa peduli terhadap sesama umat muslim kita juga bisa berkumpul secara kolosal dan bahu membahu dalam acara ini tanpa adanya sangkut paut hal pribadi, organisasi dan program masing-masing kelompok kesenian. Ini merupakan hal yang baik bagi perkembangan berkesenian di Aceh karena lepas tsunami para seniman belum dapat kesempatan berkumpul seperti ini.

Lebih jauh T. Yanuarsyah mengatakan, “Palestine sangat membutuhkan bantuan, persis seperti kita tertimpa bencana tsunami empat tahun yang lalu, begitulah mereka, namun kami hanya mampu membuat acara sesuai dengan apa yang kami miliki. Dalam acara ini kami coba menghimpun beberapa disiplin seni seperti teater, pelukis, seniman tradisional, penyair dan musisi. Di awal pertemuan kami coba mengangkat Musik sebagai konten pertunjukan yang pas untuk momen ini, maka terkumpullah beberapa seniman musik diantaranya : Moritza, Maestro, MP Troop, Tkos Band, Moko N Friends, Seuramo Regge, Vitou, Dedy Syukur n Friends Rock n Soul Band, Xhanta Fee, The Mayer, Kautsar, Liza Aulia, MY. Bombang, Reza Indria, Rahmad Sanjaya, Fendra dan Nurmaida Yanuar. Semua lagu, puisi dan hikayat yang nantinya mereka bawakan akan dilelang kepada audiens yang datang menyaksikan acara ini.” Ujar T.Yanuarsyah yang sering di sebut dengan nama Ampon Yan.

Ditemui di tempat yang sama, Moritza Thaher yang didaulat sebagai koordinator Acara menjelaskan,” Minat terhadap acara ini sangat luar biasa, semua seniman yang sedianya belum tercatat dalam agenda acara kami berkali-kali menghubungi kami, untuk acara ini kami sudah coba menata agar semua group dapat tampil sesuai dengan waktu yang ada yaitu pukul 21.00 – 00.00 wib, namun kami terpaksa angkat tangan, dan memangkas group-group yang mendaftar belakangan. Dalam hal ini saya menegaskan agar semua kawan-kawan jangan kecewa atas tidak ikutsertanya mereka dalam acara ini, karena masih banyak yang bisa kita lakukan dalam menggalang dana untuk Palestine.

Acara yang dipersiapkan secara singkat ini, melibatkan banyak seniman yang terpanggil hatinya untuk berbagi keiklasan membantu rakyat Palestine yang sedang berada dalam kondisi perang. Antusias keikutsertaan seniman terlihat disetiap rapat acara, mereka berbondong-bondong mensuport acara ini. Namun Boy Seuramo Regge yang bertindak sebagai ketua pelaksana mencoba arif dalam membagi tim yang terkait acara tersebut, Boy membagi dua kelompok seniman, satu kelompok seniman yang mengurus acara dan satu kelompok seniman lainnya menyajikan acara, meski tidak tertutup kemungkinan kelompok seniman yang mengurusi acara juga terlibat dalam pertunjukan.

Penegasan seniman yang tidak punya tempat untuk mendapat jatah manggung juga di tegaskan oleh Ampon Yan, sutradara acara ini. “Diharapkan kepada kawan-kawan yang tidak terlibat sebagai tim penyaji acara hendaknya membantu di bagian lain acara ini, misalnya pengurusan izin, krew panggung, penjaga parkir, bazar atau bagian tamu, karena semua ini merupakan bagian dari kerja kolektif kita dalam menyukseskan acara.” Ujar Ampon Yan.

Tak pelak semua seniman yang terlibat memburu kerja mereka seperti yang sudah dibicarakan dalam 5 kali rapat, pengurusan surat, gedung pertunjukan, Sound system dan perangkat musik akhirnya tertangani dengan baik. Bahkan Fadil yang memiliki sound system dan lighting mensuport habis-habisan perangkat yang dia miliki tanpa bayaran sepeserpun. “Saya inginkan acara ini menjadi baik dan saya juga inginkan segala sesuatunya menjadi lancar. Kita ini bagian dari seniman yang terus menerus di pakai seniman di setiap ajang kesenian, untuk pentas kali ini saya rela melepas semua job permintaan banyak pihak demi acara ini terselenggara,” Ujar Fadil.

Malam pentas Peduli Palestina di mulai dengan poemutaran Film Palestina, seluruh penonton saat itu terperangah melihat kejadian-kejadian sadis yang dilakukan oleh para tentara Israel yang memukuli, menembaki serta menyeret rakyat sipil yang tidak bersenjata, salah seorang penonton yang sempat di wawancarai Sipil seusai menonton pertunjukan mengatakan, “ Saya tidak sanggup melihat semua kejadian dalam film documenter Palestina, kebanyakan saya menutup mata di saat kejadian-kejadian sadis menimpa orang-orang Palestina dalam shot-shot dalam film tersebut. Kita juga pernah mengalami hal seperti ini di saat DOM (daerah Operasi Militer), DS (Darurat Sipil) dan DM (Darurat Militer), saya merupakan orang yang selamat dalam konflik Aceh saat itu, badan ini menjadi saksi dan luka-luka di badan saya ini menjadi bagian buruk dari saat-saat mencekam di Aceh,” Ujar Mahyudin sambil memperlihatkan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya dan bahkan ada luka tembak di kaki kirinya yang sudah sembuh.

“Bagi saya, kita tidak harus diam menatap semua kejadian ini, kita harus membantu mereka meski tak harus pergi ke negeri mereka, bagi saya sedikit uang sudah sangat membantu mereka untuk berbagai keperluan hidup disana dan saya menghimbau agar semua kita tidak pandang mau kaya, orang biasakah dia, pejabatkah, gubernur atau para calegkah dia, agar meringankan tangan mereka untuk membantu saudara-saudara kita di Palestine.” tambahnya.

Pertunjukan dilanjutkan oleh Nurmaida Yanuar dengan pembacaan puisi Apa Kabar Palestina, Suara Nurmaida menggema seisi gedung taman budaya menyayat, menggugah setiap yang hadir, emosi film documenter tadi telah melatari puisi yang dibacakan Nurmaida hingga Tkos Band menyambutnya dengan lagu Puing karya Iwan Fals. Ateng yang bertindak sebagai vocalis berhasil membuat gemuruh tepuk tangan berkali-kali karena suara ateng mirip dengan suara Iwan Fals, “Perang-perang lagi, semakin menjadi, berita ini hari berita jerit pengungsi, lidah anjing kerempeng, berdecak keras beringas, melihat tulang belulang, serdadu boneka yang malang/Tuan tolonglah tuan perang dihentikan,lihatlah di tanah yang basah airmata bercampur darah, bosankah telinga tuan mendengar teriak dendam,jemukah hidung tuan mencium amis jantung korban/...”

Setelah lagu Puing selesai dibawakan, Tkos kembali menyanyikan dua lagu secara berturutan; Potret dan Seperti Matahari. Penampilan Nurmaida Yanuar dan Tkos dilelang seharga Rp. 1 juta

Penyaji berikutnya Moko n Friends, Moko yang berusia belia dengan memainkan piano menyanyikan lagu Killing me soflay, dilanjutkan Seuramo Regge dengan dua lagu; Gampong Surga dan Renungan dan dituntaskan oleh Virtou Band dengan lagu Kecewa untuk sesi kedua pertunjukan, penampilan ketiga kelompok musik ini dilelang dngan harga Rp. 3,4 juta

Di bagian ketiga Liza Aulia memecah konsentrasi penonton dengan lagu andalan di album perdananya, Kutiding, lagu Kutiding ini pernah menjadi hits paling laris di paruh tahun 2008 dengan mengalahkan lagu-lagu Aceh lainnya, Liza yang di iringi Dedi Seuramo Regge pada drum, Deden pada guitar dan beberapa seniman musik lainnya membuat suasan menjadi semakin semarak, teriakan kerinduan akan penyanyi anggun yang selama ini hanya didengar suaranya lewat kaset akhirnya terobati dengan penampilannya di Pentas Peduli Palestina, komposisi musik yang di padu antara live musik dan minus one, meluncur dengan sangat manis mengisi setiap hati penonton yang hadir malam itu.

Kehadiran Fendra dengan puisinya Pilu Gaza, merupakan bagian terindah lain dari pentas ini setelah lagu Kutiding Liza Aulia usai. Pada sesi ini Dedy Syukur n Friends tampil dan mengarahkan gejolak hati para penonton ke dalam suasana semakin meninggi dengan komposisi musik tanpa syair, skil individu musisi Aceh era sembilan puluhan yang tetap konsisten mengusung jenis rock ini, akhirnya ditutup dengan Rp. 3 juta untuk ketiga penampilan.

Suasana musik kembali berubah setelah Rock n Soul Band yang menyajikan lagu Syair Palestina, Xhanta Fee ; Satu, TP Troop; Damai, warna musik masa kini pun mewarnai gedung, komposisi yang mereka ciptakan atas penampilan kali ini dilelang dengan harga Rp. 1 juta

Hingga tibalah saatnya Cici n friend yang bertindak sebagai MC dan juru lelang mengumumkan pada penonton sebuah lukisan karya Mahdi Abdullah yang malam itu dilelang, sekian panjang penawaran yang terjadi diantara para penonton maka putuslah harga lelang tersebut sebesar 35,5 jt namun sayangnya orang yang beruntung mendapatkan lukisan Mahdi Abdullah tersebut tidak ingin namanya disebutkan, namun sumber Sipil mengatakan, lelaki itu berasal dari Lo’nga dan telah menjadi warga negara Malaysia sejak lama.

Warna jazz akhirnya menguak gedung pertunjukan, Maestro, Reza Indria ; Every Body Hurts dan The Meyer berharga lelang 2,9 juta untuk penampilan mereka dan di akhir pertunjukan tampil Kautsar; menagih Kasih, MY. Bombang dan Maestro dengan hikayat Aceh versi Jazz dan Rahmad Sanjaya; Nun, harga lelang atas semua penampilan mereka Rp. 2,5 juta.

Fendra mengatakan seluruh hasil lelang baik lagu maupun lukisan serta dana yang berasal dari parkir dan bazar buku seluruhnya terkumpul 56.479.000,-, namun angka tersebut adalah angka sementara karena masih ada lagi yang belum dihitung.

“Pentas Peduli Palestina ini merupakan babak baru bagi kebangkitan seniman Aceh, di awal tahun ini. Kita baru bisa menyumbang setitik saja bagi mereka yang dilanda peperangan, ibarat nada hanya baru satu nada dan masih ada enam nada lagi yang belum kita sumbangkan,” ujar Aan MP Troop yang menyayangkan banyak pejabat tidak hadir dalam acara ini.

Rahmad Sanjaya

Udin Pelor

UDIN PELOR

Sang Maestro Penebar Pesona

Dengan berperawakan Ala Coboy, Udin Pelor menyerigai penonton dengan suara-suara desing peluru dan dentuman bom begitulah aksi Udin Pelor setiap kali dia menjadi Master Ceremony (MC) di berbagai acara. Lelaki gaek yang lahir di Matang Geulumpang Dua, 6 Juni 1945 masih saja berpenampilan perlente dengan rambut dikuncir ke belakang dan celana jeans belel, namun inilah Sang Maestro penebar pesona, yang lahir sebagai bagian dari alam Aceh yang di naungi budaya yang serba specifik, dia adalah karakter yang sulit di cari ganti.

Mengenalnya bagaikan mengenal angin yang berlalu, datang dan pergi sesuai suara hati. Pengembara yang satu ini terlihat tak pernah kenal henti untuk berkiprah di dunia kesenian, meski umurnya sudah terbilang tidak muda lagi, udin tetap menjalankan aktifitasnya sebagai insan seni yang konsisten.

Udin pelor tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya hidup di gaji pemerintah, biaya hidupnya hanya tertumpu pada berbagai usaha mandiri yang dilakukannya sejak berusia 16 tahun, dari mulai bisnis durian, buku bacaan pengarang-pengarang zaman Balai Pustaka, hingga berkesenian semua dijajakinya.

Dalam berkesenian Udin Pelor adalah pendobrak komposisi musik Aceh untuk pertama kali, di mengubah tone dan ritmik musik Aceh. Keberaniannya meletakkan pondamen dasar musik berbahasa Aceh yang lain dari yang pernah ada, merupakan sumbangan besar bagi perkembangan musik Aceh pada saat ini.

Coboy Aceh yang satu ini memiliki mental yang terasah oleh pengalaman berpuluh-puluh tahun menjadi tukang obat. Pengembaraannya dari kota ke kota, dari kampung ke kampung sebagai Gypsi Aceh menjadikannya maestro yang belum bisa dicari gantinya, sikapnya yang tenang mencerminkan kedalaman pengetahuan yang tidak bisa dinilai dengan materi. Vigur ini sudah sepantasnya di beri penghargaan setinggi-tingginya atas jasa-jasanya menghidupkan kesenian tradisional baik itu Susastra Aceh maupun Teater Tradisi Aceh, Geulanggang Labu atau dapat juga disebut Teater Arena di zaman sekarang.

Menurut pengakuannya, Nama Udin Pelor diberikan oleh kepala pabean yang bernama Ramli, saat gawat-gawatnya DI/TII. Udin Pelor yang bernama asli Mahyuddin Ismail memiliki perahu bot yang cukup memadai untuk menelusuri kuala langsa. Dalam situasi sedemikian Udin bersikukuh untuk ikut dalam pencarian meski sudah di larang oleh salah satu tentara yang saat itu ikut patroli. “saya katakan pada mereka saat itu kalau takut mati, di tempat tidurpun kita bisa mati, Kalau Allah berkehendak apapun bisa terjadi, termasuk mati di tembak.” ujarnya

“Saat kami di serang, cuma saya yang tidak mati, mungkin orang-orang DI/TII tahu bot saya dan saya ada di dalam bot itu, makanya saya selamat. Lantas saya membawa pulang mereka yang sudah tidak bernyawa lagi menuju pangkalan, nah dari situlah Ramli memberikan julukan saya Udin Tse Pelor, yang artinya Udin sisa pelor, namun belakangan saya di panggil oleh kawan-kawan Udin Pelor, karena mereka tidak dengar perkataan Tse yang di lontarkan pertama kali oleh Ramli.” Kenangnya.

Mulai saat itulah Udin memiliki prinsip seperti pelor, jika ada pekerjaan harus tepat sasaran, dan menghasilkan. Istilah Udin memanfaatkan satu pelor untuk menembak sekaligus dua objek, paling tidak salah satunya pasti kena.

Kariernya dalam kesenian di mulai dari Gelanggang Labu, yaitu sandiwara rakyat yang formatnya sederhana dan sering pentas keliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Semula Udin Pelor berniat untuk menjadi anak buah kapal, namun salah pemilik kelompok Geulanggang Labu memanggilnya untuk ikut bergabung dan menjadi pelatih tari dalam sandiwara. Sejak itu Udin terus ikut kemanapun rombongan sandiwara Geulanggang Labu ini tampil.

Berada dalam kelompok Sandiwara ini, memberikan motifasi baru bagi Udin disaat remajanya, banyak hal yang dilewatinya bersama kelompok ini, baik susah maupun senang. Masyarakat yang menyaksikan setiap pertunjukannya juga sangat antusias, sebab di dalam sandiwara ini banyak disampaikan petuah adat, nasehat orang tua, hukum-hukum Islam hingga berbagai kontek sosial kemasyarakatan yang positif dilahirkan lewat sandiwara Geulanggang labu ini dan Udin menjadi salah satu tokoh yang sangat mentukan berhasil tidaknya pertunjukan Geulanggang Labu pada saat itu

Sandiwara Geulanggang Labu ibarat para pendakwah yang tidak kenal lelah, mereka terus saja menarik simpati masyarakat sebanyak-banyaknya kala itu, tentunya semakin banyak yang menonton makin banyak pula rezeki yang di dapat. Udin Pelor bersaksi untuk itu.

Kehidupan menjadi “Gypsi” bukanlah paksaan yang senantiasa harus berkeluh kesah, persoalan kesenian dan hidup kadang-kadang menjadi satu dan tidak ada ujung pangkalnya. Dari 30 orang anggota kelompok, kadang-kadang hasil yang didapatkan tidak dapat di bagi sama, bahkan ada beberapa anggota yang tidak kebagian jatah uang saat itu, hal ini menurut Udin Pelor sering terjadi dan ini sangat lumrah. Namun saat itu honor bukanlah tujuan, tetapi pertunjukanlah yang paling utama, masyarakat terhibur dan misi tersampaikan.

Dengan kondisi inilah Udin Pelor harus memutar otak dengan keras, sampai suatu ketika datanglah seseorang yang mengajaknya untuk berjualan obat. “Waktu itu saya tidak mengerti bagaimana berjualan obat, kata teman saya, tugas saya cuma mengumpulkan banyak orang sebelum jualan obat dimulai, saya pun faham maksud teman saya itu langsung saja saya mulai beryanyi dan melawak, sesekali saya bercerita mengenai kasiat obat yang akan kami jual pada penonton yang mengerubungi kami, kalau kata-kata sekarang petunjuk penggunaan obat, saudara-saudara, kalau anda terkena penyakit cacing maka pakailah ramuan kami ini, yang paling top dan ampuh membasmi cacing yang bersarang di perut anda, ingat saudara-saudara, cacing yang ada pada tubuh kita dan paling berbahaya bukanlah cacing gelang, tapi cacing yang kecil-kecil, alias cacing keremi, maka untuk membasminya minumlah ramuan ini secara teratur, di jamin sembuh seratus persen, kalau tidak uang kembali,” kenangnya

Menurutnya semua ini terjadi ketika gelanggang labunya tampil di Bireun, tepatnya Krukuh Aceh Utara,

Hiburan penjual obat menjadi trand pada masa itu, dan Udin Pelor adalah ujung tombak yang kerap dipakai sebelum jualan obat berlangsung, hiburan Udin Pelor yang semakin akrab di berbagai tempat membuat obatnya laku terjual padahal obat yang dijual Udin Pelor hanya obat cacing dan obat penyakit batu karang serta ramuan untuk kecantikan.

Jika di telisik lebih jauh, Udin Pelor bukanlah seorang penjual obat jalanan yang tulen, tetapi dia adalah seniman yang ikut dalam proses penjualan obat. Banyak orang salah tanggap dengan keberadaan seniman gaek yang satu ini, Udin memang benar meracik obat cacing, obat batu karang dan ramuan kecantikan, tetapi perfomancenya tidak layak dikatagorikan sebagai penjual obat yang benar-benar serius, seperti teman-temannya karena vorsi yang di tampakan Udin pelor lebih banyak berkesenian dari pada menjual obat yang meski diraciknya sendiri. Hal ini senada dengan pengakuannya, “Sebenarnya orang-orang membeli obat saya bukan gara-gara obat itu manjur, tetapi karena mereka menghargai kesenian yang saya tampilkan,” ungkapnya

Kakek dua cucu ini juga mengakui, selama berjualan obat dia banyak ruginya, karena komposisi berjualan obat dengan hiburan lebih banyak hiburannya, masyarakat kita waktu itu sangat haus akan hiburan, mereka maunya dihibur terus hingga kadang-kadang lupa beli obat, padahal maksud Udin, kesenian adalah alat untuk menggiriring masyarakat yang ada di tempat itu agar membeli obatnya. Melihat kondisi ini teman-teman Udin memberikan nasehat, agar Udin lebih memfokuskan kesenian dari pada berjualan obat, sebab akan terus mengalami kerugian jika udin terus berjualan obat.

Aksi tebar pesona Udin terikut saat dia menjadi MC di berbagai acara. Udin Pelor acap kali mengeluarkan jurus-jurus andalannya sebagai bumbu pengikat agar audiens tidak beranjak dan tidak riuh dalam acara yang sedang berlangsung, dia juga sangat ahli membuat perhatian penonton sebuah acara jadi terfokus, sehingga Acara yang sedang berlangsung sukses tanpa cela.

Udin Pelor yang kini seumur dengan Republik Indonesia; 64 tahun, memiliki keluarga yang sangat sederhana, dia dikarunia satu orang anak dari seorang istri bernama Halimah dan kini sudah memiliki dua orang cucu.

Perjalanan sang maestro ternyata belum semua tercatat, terutama kisah cintanya dengan sang istri yang di boyongnya darai Lueng Putu Pidie 1972, dalam mencari jodoh Udin sangat selektif, dan banyak berguru pada orang tua. Dia juga sempat disarankan agar mencari gadis yang bernama Siti Hawa, “ Coba bayangkan nama Siti hawa itu sangat jarang ada di Aceh, saya sampai bingung mencarinya, namun saya terus mencoba mencarinya. Untuk mendapatkan jodoh saya menjual tanah di paya maneng, uangnya saya sewa satu kelompok drama dari Medan untuk berkeliling bermain sandiwara di Aceh. Di dalam kelompok sandiwara ini ada tiga orang gadis yang lumayan cantik, lantas saya mengetesnya, ternyata ketiganya tidak memenuhi syarat bagi saya, alasannya cuma sepele, dia tidak bisa masak. Akhirnya ini pun gagal. Tapi saat saya berada di Pidie, saya tertarik dengan seorang gadis yang kini menjadi Istri saya. Satu yang cuma saya langgar saat saya memperistrikan Halimah, dinamanya tidak ada kata yang berbunyi wa tapi yang dapat akhiran mah” ujarnya sambil tertawa.

Dari sisi penciptaan lagu, Udin Pelor sempat menelurkan satu buah album Trio bersama Istri dan anaknya, lagu ini berformat musik gaya baru berbau country dan India, kekhasan tone yang di pilih Udin dalam Album ini menjadi penomenal saat itu, namun nama besar Udin Pelor mengalahkan segalanya. Inilah yang dikatakan pembaharu dalam musik Aceh, mulanya selalu di cerca kemudian generasi berikutnya mengambilnya sebagai bahan rujukan terhadap musik yang dimainkan saat ini.

Salah satu syair Udin Pelor yang sempat di berikanya beberapa waktu yang lalu pada Sipil berjudul Taba Peusuna; “Ingat-ingat wahe rakan droe/ Bak tatiek duro bak jalan raya/ Han binasa ta jak binasa ta wo/ Peunyakit tablo utang tapeuna//Tameututo bek leupah-leupah/ Peukara lidah yoe cok binasa/ Seubab lidah juwah ban rimoung/ Keumeunan neukheun le ureung tuha//Taba peusuna keugob tapeugah/ Narit fitnah asai bak gata/Di yaumil masya kateusuet lidah/ Panyang meuleumpah meuribe deupa//Gunteng neuraka meu yue koh lidah/Teumpat keuneubah dalam neuraka.”

“Saat ini di umur saya yang sudah tidak muda lagi ini, karya yang saya buat semakin banyak. Inilah kekayaan saya yang sesungguhnya. Dulunya saya pernah mengecap bagaiman rasanya kaya materi dan tinggal di hotel selama bertahun-tahun, dan saya berhenti menginap di hotel itupun gara-gara hotelnya harus di gusur, kalaulah hotel itu masih ada saya mungkin masih menikmati kemewahan tersebut. Tapi yang lebih penting bagi saya saat ini, adalah semangat untuk terus berkiprah di dunia kesenian dan saya tidak akan hentikan itu hingga saya tidak lagi punya umur, dan kepada istri saya juga saya sudah katakan, cuma syair-syair inilah harta paling berharga saya, biasanya kalau penciptanya sudah tidak ada, syair-syair ini akan di cari orang,” kelakarnya

Seperti yang dikatakan Udin Pelor memang terjadi di Aceh, ketika PMTOH, Toet masih ada, tidak pernah sekalipun ada penghargaan berharga bagi mereka, padahal mereka yang hidupnya hanya berkesenian adalah penjaga budaya dan identitas daerah ini. Terbukti ketika kedua tokoh seni dan budaya ini tiada, ratusan karyanya sama sekali tidak terdokumentasi dengan baik, sementara bangsa asing sudah lebih dahulu memajangnya sebagai aset berharga miliknya.

Udin Pelor juga sangat menyesalkan ketidak pedulian daerah ini kepada kesenian dan pelaku-pelaku seni lainnya, seolah-olah seniman adalah beban yang memberatkan bagi Aceh.

“ Saya tidak memiliki muka untuk mengemis pada mereka yang punya banyak dana, apalagi pemda. Bagi saya adanya kesadaran berbudaya saja sudah cukup bagi kita para seniman. Tidak perlu bantu saya, saya Cuma minta mereka-mereka itu menyadari akan adanya budaya di sekitar dia dan pelakunya adalah seniman, ini kadang-kadang salah cerna, seniman yang punya karya kenapa pejabat yang punya nama. Tidak jauh lah, kita diundang ke luar negeri aja pejabat yang dapat nama sementara seniman hanya pelengkap pelaku saja.” Kelunya.

Sipil juga merncatat, Udin Pelor belum pernah dianggap sebagai bagian dari kesenian Aceh, hal ini terbukti dengan tidak adanya respon pemerintah daerah Aceh terhadap seniman, generasi Udin Pelor sebagai aktor Geulanggang Labu atau Seniman si Tukang obat sudah berakhir, namun namanya sangat populer di berbagai tempat dan masyarakat kita mengklimnya sebagai seniman yang multi telent.

Banyak seniman muda yang saat ini tenar namanya lewat lawakan yang belajar kepadanya, kemampuannya mengartifisialkan pengalaman individunya kepada generasi saat ini sungguh tidak dapat diukur dengan anugerah seni yang hanya berjumlah 10 juta, tetapi dia wajar di beri anugerah yang setimpal dengan hasil kerja kerasnya untuk membangun seni budaya hingga saat ini.

“Di negeri jiran, para penyair itu di biayai hidupnya oleh negara, mereka memiliki gaji tiap bulannya, selain itu negara mereka juga menghormati seniman sebagai satu kelompok tempat berdiskusi persoalan negara, sebab senimanlah yang paling cepat tahu bagaimana kondisi masyarakat beserta pemecahan persoalannya, dapat anda bayangkan betapa berharganya seniman di mata para pejabat negara di Malaysia, sementara di Aceh apa yang kita dapat, paling cuma menambah-nambah jumlah pengangguran, padahal syair dan nasehatnya lewat karya yang di buatnya dapat menterjemahkan daerah ini secara menyeluruh, ini cuma harapan saya bagi setiap yang berkuasa, baik hari ini, esok dan masa mendatang.” Urainya.

Yang Pasti Udin Pelor yang kini bukan bertopi Koboy lagi menginginkan perubahan penanganan seni dan budaya secara baik dan bermutu, kesenian yang mampu melangutkan perasaan sebab menurutnya ada dua bagian dalam hati manusia jika di belah, yang sebelah kanan adalah keimanan dan sebelah kiri adalah kesenian dan budaya, jika keduanya terisi dengan sempurna kita akan tahu siapa diri kita, untuk apa kita dan bagaimana kita akan menyongsong kehidupan yang lebih baik sebagai persiapan mati nanti, tambah Udin Pelor.

Udin Pelor yang masih saja menebar pesona di setiap acara-acara serimonial merupakan pelaku seni yang tidak pernah usai memikirkan seni dan budaya, semangat ini perlu di teladani bagi generasi muda saat ini, karena seni budaya Aceh juga terbentuk dari keseriusan dan pandangan yang jauh ke depan, tidak mengada-ada dan sangat memiliki prosfek cerah di masa yang akan datang. Maestro itu masih tersenyum meski dalam gamang berlangitkan tanda tanya tentang kesenian kita.

Rahmad Sanjaya