Jumat, 01 Oktober 2010

Menjadi Komponis Lewat Musikalisasi Puisi


Aceh merupakan daerah potensial untuk tumbuh kembangnya seni budaya apapun bentuk seninya, begitu pula dengan musikalisasi puisi. Seni musikalisasi puisi adalah seni perpaduan antara seni musik dan sastra terutama puisi.

Musikalisasi Puisi di Aceh sudah menampakkan jati dirinya sejak tahun 1983 saat itu musikalisasi puisi bernama musik kreatif, namun di tahun 1988 teater mata menamakan seni yang satu ini sebagai musikalisasi puisi. Jelas kini musikalisasi puisi di Aceh lebih awal berapa tahun dari pada daerah lain yang rata-rata mengembangkan seni ini di tahun 1990.

Pengembangan musikalisasi puisi di Aceh dimulai oleh Bengkel Musik Batas yang saat ini telah menghasilkan banyak generasi baik dalam konsep musik Aceh maupun dalam konsep musikalisasi puisi. Dan dari para pengajar dalam pelatihan ini generasi musikalisasi puisi inilah yang membantu mewujudkan program ini dari Januari hingga Maret 2010 sampai program klas minor (dasar) ini selesai dengan sempurna.

Dari pelatihan yang dilakukan oleh Komunitas Rumah Sawah akhirnya terjawab sudah, Banyaknya kelemahan dan penyimpangan dalam mengkomposisi musikalisasi puisi. Semua ini diakibatkan banyaknya masukan dari luar Aceh yang simpang siur tanpa ada penjelasan yang utuh, sementara antusias para pelajar akan Musikalisasi Puisi sangat besar.

Dalam pelatihan ini juga di temukan, bahwa setiap pelajar tidak mengerti apa sebenarnya musikalisasi puisi, bagaimana mengkomposisi musikalisasi puisi ketika berhadapan dengan puisi-puisi yang di tawarkan dalam pelatihan.

Semua ini lumrah adanya, karena dunia musikalisasi puisi Aceh sejak tahun 2000 hingga 2006 mengalami pembiaran dalam segi pelatihan, sehingga banyak generasi Musikalisasi Puisi di Aceh mencari-cari sendiri konsep tanpa mengetahui dasar-dasar yang pasti dalam musikalisasi puisi, sebenarnya sejak tahun 1992 -1999 Bengkel Musik Batas adalah kelompok seniman yang aktif membina, memberi pelatihan kepada siswa dan guru-guru kesenian dari berbagai sekolah, namun hasil dari pelatihan tersebut sama sekali tidak diperdulikan guru-guru kesenian tersebut, seharusnya hasil pelatihan ini terus di galakkan kepada setiap generasi pelajar yang baru di tiap sekolah agar pemahaman sastr terutma puisi tidak hanya sekedar tinggal di buku-buku antologi puisi yang tersantir di rak-rak perpustakaan.

Agaknya generasi sastra yang inovasi harus terus di galakkan di Aceh terutama terhadap generasi potensial yang saat ini sebagian besar berada di SMP dan SMA, karena musikalisasi puisi tidak hanya mendidik para pelajar untuk berkreatifitas namun melalui sastra puisi mereka dapat mensiasati diri sebab di musikalisasi puisi selalu diawali dengan pengupasan puisi sebelum membuat komposisi musik, maka dengan berbagai penjelasan yang dilakukan oleh para pengajar disanalah di selipkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap kalimat puisi, sehingga manfaat ganda mempelajari musikalisasi puisi dapat secara langsung diterima oleh para pelajar.

Antusias para pelajar di Banda Aceh dalam mempelajari Musikalisasi Puisi sangatlah besar, namun semangat mereka pelan-pelan meredup karena pihak sekolah tidak mengizinkan anak-anak didiknya mempelajari musikalisasi puisi. Seperti yang diungkapkan siska salah seorang peserta pelatihan Musikalisasi Puisi di Taman Budaya, Kepala sekolah mereka tidak ingin ada musikalisasi Puisi di sekolah mereka, alasannya kepala sekolah mereka, Musikalisasi Puisi itu tidak penting sebab tidak ada dalam Ujian Nasional, jadi tidak begitu penting itu Musikalisasi Puisi, Ujar Siska menirukan kepala sekolahnya.

Lain Siska lain pula Fitri, siswi kelas dua di salah satu SMA di Aceh Besar mengatakan, kepala sekolahnya dulunya pernah mengikuti berbagai ajang lomba Musikalisasi Puisi, tapi sebelum dia jadi kepala sekolah, saat itu dialah guru yang paling getol memperjuangkan musikalisasi puisi di sekolah kami, sampai-sampai dia kerap memaksakan idenya kepada kepala sekolahnya terdahulu, tapi sejak dia jadi kepala sekolah musikalisasi puisi kami semakin meredup dan tidak pernah lagi dapat juara, urai Fitri.

Pelatihan di luar sekolah memang jadi penomena besar bagi setiap siswa – siswi SMA maupun SMP, mereka harus mendapat restu dari guru maupun kepala sekolah. Tetapi pelatihan yang dilakukan di luar sekolah, agaknya tidak berbenturan dengan jadwal klas mereka di sekolah, para pelatih mengambil hari libur untuk pelatihan musikalisasi puisi seperti ini, itupun juga menjadi persoalan besar bagi guru dan kepala sekolah. Sehingga para pelajar enggan untuk mengikuti pelatihan.

Anehnya pada saat ada lomba atau festival, berduyun-duyunlah semua sekolah mendaftarkan sekolah mereka jadi peserta, maka jelaslah kegiatan pendidikan ekskul, terutama musikalisasi puisi ada intervensi dari guru dan kepala sekolah, namun mereka hanya memberi peluang untuk mengikuti ajang lomba saja tanpa persiapan yang matang.

Agaknya kegiatan ekskul pelajar harus di format sedemikian rupa oleh para penentu pendidikan di Aceh, agar para pelajar kita dapat berbagai hal selama mereka jadi pelajar. Biarkan para mereka berkembang sesuai bakat dan minat mereka,mungkin ini lebih baik.

Rahmad Sanjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar