Rabu, 12 Agustus 2009

Novaldin Ali H Pengusaha Burger Asal Gayo


Awalnya dia bermusik, tapi hanya berjalan sesaat. Bakat musik dalam diri Novaldin Ali H lelaki asal kelahiran Takengon (39), masih mengalir, sehingga tahun 1997 diapun mendirikan studio musik bersama Dedi Sarong---personel Band Metazone, Group Band asal Aceh yang pernah menjuarai festival Rock se Indonesia--. membangun studio Metazone di Lingke, Banda Aceh. Tentu bisnis itu tidak menjanjikan masa itu. Berbekal sebuah Ruko dua lantai, lelaki inipun lantas menjalankan usaha warung kopi di lantai bawah.

Sepinya order studio musik Metazone akibat konflik Aceh membuat gundah lelaki sederhana ini, andalan satu-satunya hanya warung kopi. Pada tahun 2000 Novan pun menikahi, Teman-temannya sesama pemusik yang baru datang dari Medan menyarankan Novan untuk berdagang Burger, karena menurut mereka berjualan berger sangat mudah dan menghasilkan

Mendengar tawaran ini Novan menanyakan perihal modal yang akan di keluarkan jika ingin berjualan Burger. Dari keterangan teman-temannya Novan hanya mengeluarkan uang Rp.750.000,- berikut gerobaknya dan sudah siap jualan, namun ketika ditanyakan pada tukang kayu yang berada di dekat studionya, harga gerobak berkisar antara Rp 3.750.000,-. Lelaki ini mulai kalut, modal di kantongnya sama sekali tidak mencukupi untuk membuat bisnis ini.

“Lama saya berpikir dan mencari cara agar usaha ini tetap terlaksana, akhirnya jalan keluarnya adalah berbicara dengan istri, saya coba meminjam emasnya dan entah mengapa istri saya itu sangat percaya akan pekerjaan yang ingin saya lakukan dan dia menyerahkan mahar kawin kami seberat 15 Mayam, ketika itu harga emas 365 ribu satu mayam, jadi saya punya modal awal Rp. 5.475.000,-“, dengan uang inilah saya buat gerobak sendiri.” jelasnya.

Ternyata persoalan Novan tidak sampai pada modal saja, saat gerobak selesai di buatnya, ia pun menyadari, tidak bisa membuat Burger sama sekali, namun langkah untuk menuju bisnis yang baru seteguh karang. Dengan berbekal uang modal yang dimilikinya, Novan menuju Medan di dampingi dua rekannya Putra dan Roy Fahmi untuk magang selama empat hari ke tempat penjualan Burger yang terletak di Thamrin Plaza.

Saat tiba di Banda Aceh, Novan di tawari untuk berjualan burger di tengah-tengah arena festival musik rock di stadion H Dimurtalla, sampai pukul 11.00 dagangannya belum satupun laku terjual, sebab makanan yang di jual Novan belum pernah di kenal baik oleh orang-orang yang ikut hadir dalam acara tersebut, bahkan ada yang menyebutkan burger itu adalah makanan kelinci karena di dalam roti ada sayurnya.

Namun ketika orang-arng di dalam stadion mulai keparan, gerobak burger Novan di serbu tanpa ampun. Ada yang makan bayar dan ada yang makan dan minum langsung di tinggal, waktu itu Novan tidak sanggup menghadapi pembeli yang begitu banyak, alasannya belum pernah jualan seperti itu selama ini. Jualan yang sangat berkesan di hari pertama membuka dagangan burger tetap menjadi memori yang indah baginya, sebab dagangan dan minuman botol titipan Anto seorang pedagang dekat studionya habis terjual, tapi uang hasil penjualannya entah kemana, Novan hanya gigit jari, di tangannya hanya ada uang Rp. 250.000,- , Burger dan berkerat-kerat teh botol juga tidak tahu dimana uangnya, namun lelaki tangguh yang satu ini hanya dapat tersenyum sembari melanjutkan usahanya tanpa henti.

“Banyak sekali pengalaman pahit yang saya rasakan saat memulai usaha ini, namun saat itu saya hanya berpikir satu hal, saya tidak boleh mundur, walau entah apalagi aral yang nantinya menghalangi jalannya bisnis ini.” Ungkapnya

Penderitaan berjualan Burger Novan setelah kejadian stadion nampaknya mengalami kemajuan lain ketika gerobak burger itu di pindahkan kembali di depan studio musiknya, semakin hari semakin banyak yang minati burger Novan yang di beri nama HIP. Kursi dan mejapun sudah mulai ada, namun kebingungan mulai melanda Novan kembali ketika sewa ruko mereka habis. Dan menurut pemilik ruko dia tidak lagi mengizinkan studio musik berada di tempatnya alasannya karena banyak yang rusak, sedangkan untuk berjualan burger di perbolehkan memperpanjang sewa. Novan juga tidak berharap dengan ruko tersebut, kalaupun diperpanjang sewa maka di lebih memilih ruko lain yang masih sederet dengan ruko yang di sewa untuk studio musik.

Kepindahan Novan ke ruko baru tidak serta merta kepindahan yang sangat nyaman, dia harus menunggu 3 bulan untuk menikmati tempat baru, namun berjualan burger tetap dilakukannya di pinggir jalan tidak jauh dari ruko baru yang sedang di renovasi oleh pemiliknya. Ketika ruko selesai, Novan baru dapat menikmati warung yang representatif dan layak meski harus membayar cicilan selama 3 tahun.

“Saat itu di tahun 2002, saya sudah punya karyawan enam orang, saya membuat gerobak satu lagi untuk kawasan simpang lima, artinya saya buka cabang baru. Malam minggu pertama saya berjualan di simpang lima, orang menyerbu gerobak kami, antri sampai macet jalan hingga ke kantor BPD, disinilah suasana mulai kita ciptakan. Dulunya kawasan simpang lima merupakan kawasan yang sepi setelah magrib, namun kami telah menciptakan keramaian dan suasana yang berbeda ketika itu. Lampu-lampu mulai ada dan kawasan itu nampak hidup setiap malam hingga saat ini.” Kenangnya

Munculnya HIP Burger menjadi penomenal bagi para pedagang lainnya yang sebelumnya belum berdagang di kawasan jl. Daud Beureueh yang dulunya Jl. T. Nyak Arief. Kawasan ini akhirnya menjadi pusat jajanan paling laris hingga ke Lampriet.

“Tahun 2002 adalah masa-masa sulit bagi kami berjualan di simpang lima, karena masa itu konflik Aceh sedang marak-maraknya, malam kami berjualan kerap diwarnai dengan dentuman bom dan rentetan senjata, dan kamipun tiarap bersembunyi di kantor pajak, gerobak tetap terbuka dan kami biarkan begitu saja, yang penting kami selamat,” ujarnya.

Setiap pulang jualan malam hari, Novan sering kali kena razia tentara dan polisi. Tetapi Novan dengan vespa bututnya yang berwarna biru tua, terus melaju sampai ke rumahnya di Lambhuk, “Saya tetap bekerja kendati situasi saat itu mencekam. Saya tetap berjualan, kalau tidak anak dan istri mau makan apa. Jadi demi anak dan istri saya tidak boleh jadi penakut.” Kata ayah dua orang anak ini.

Berkat prinsipnya itulah bisnis burger Novan kian maju. Tahun 2004, Sebelum tsunami melanda Aceh, Novan berhasil menambah gerobak burgernya menjadi 4 buah, tiga di Banda Aceh; Lingke, Lampriek, Simpang Lima dan satu lagi ada di Takengon; Simpang Empat.

Namun hanya sesaat usahanya kemudian terhenti akibat bencana tsunami. Usaha burger yang berada di Lingke hancur, sementara HIP Burger di Lampriek dan Simpang Lima Banda Aceh, hanya tinggal sisa-sisa saja. Novanpun hanya menggantungkan usahanya pada HIP Burger di Takengon.

Tapi sulit bagi Novan untuk bangkit lagi, karena dia harus kembali mencari modal usaha untuk melanjutkan dagangannya. Sementara usaha HIP Burger yang di Takengon hanya cukup untuk biaya operasional saja.

“Sejak itu itu saya mulai menjajaki pinjaman usaha ke bank, tapi berat karena bunga yang terlalu tinggi, termasuk di Bank-Bank Syariat. Untuk bunga bank saja itu lebih besar dari keuntungan saya. Jadi saya tidak lagi mencari pinjaman-pinjaman melalui bank.” Jelasnya.

Lebih jauh Novan menambahkan,”Tidak ada bank yang berbudi baik bagi masyarakat kita di Aceh, apalagi korban tsunami, buktinya ketika kami membutuhkan bantuan untuk modal usaha, bunganya melambung hingga 16 persen. Ini kan bukan membantu namanya, tapi mencekik, keuntungan kami saja tidak sampai seperti itu, dapatlah di bayangkan jika keuntungan kami cuma 20 sampai 25 persen, lalu kami harus membayar cicilan dan bunga, kami bisa-bisa berhutang dengan bank terus-terusan hingga semua milik kami disita bank. Tapi untunglah ada Jasa Raharja yang memberikan kami pinjaman dengan bunga hanya 6 persen dan usaha saya kembali berjalan.

Di awal bangkit kedua ini saya meminjam ke Jasa Raharja sebesar 25 juta, awalnya kami meminjam kredit sebesar 5 juta sebelum tsunami, dan belum lunas. Dan ketika saya melunasi kredit, mereka membantu kami dengan jumlah yang lumayan besar. Karena saya tahu BRR tidak pernah mau membantu memberi dana usaha bagi pengusaha makanan seperti kami, padahal di BRR itu ada Deputi Ekonomi yang di pimpin Syaid Faisal” Sebut lelaki berdarah Gayo ini.

Disamping pinjaman berbunga rendah yang di dapat Novan dari Jasa Raharja, para pegawainya yang tidak terkena tsunami juga memberinya motifasi untuk bangkit kembali untuk meneruskan usaha HIP Burgernya.

Empat bulan setelah tsunami, HIP Burger kembali buka di Simpang Lima dan setelah gerobak burger yang dulunya di Lampriek di rehap, HIP Burger pindah ke Beurawe sampai sekarang. Sedangkan HIP Burger di Takengon juga pindah persis di belakang Mesjid Raya Ruhammah Takengon, Aceh Tengah. Tentu dengan pasilitas dan halaman yang lebih luas dari sebelumnya.

Novan mengakui kelancaran usahanya hingga sekarang ini tidak lepas dari dukungan dan motifasi istrinya Juli. Katanya, kebangkitan semangatnya untuk tetap menjalankan bisnis burger ini lantaran sang istri bangga pada profesi yang digeluti Novan, kendati Novan sendiri merasa dirinya sebagai pedagang kaki lima yang kerap terjun langsung berdagang bersama para pekerjanya.

“Kadang-kadang istri saya setiap pulang kerja langsung ke tempat saya berdagang dan setiap dia menunggui saya memasak burger untuk para pelanggan, selalu saja saya merasa gugup, kadang-kadang tanpa sadar keringat saya semakin banyak, bukan karena panas api panggangan, tetapi karena istri ada di belakang memperhatikan saya masak. Tapi dialah yang terbaik bagi saya, segalanya bersal dari dia ada dalam hidup saya, jika saja Allah menentukan jodoh saya yang lain saya tidak tahu bagaimana menjalani masa-masa sulit dahulu hingga saya memiliki tiga tempat berjualan seperti saat ini.” Adunya.

Meski demikian Novan masih terus ingin membuat bisnisnya ini lebih maju, cita-citanya ingin membuat burger ini siap saji seperti yang dimiliki pembisnis makanan yang berlesensi luar negeri, artinya peralatan masaknya lebih baik dari saat ini. Semua ini juga kembali lagi ke persoalan dana, jika dananya cukup maka usaha burgernya akan semakin meningkat.

Investasi yang ditanamnya di HIP Burger Takengon mencapai 400 juta, itu juga belum memenuhi target baginya, belum lagi HIP burger yang saat ini berada di Banda Aceh. Untuk menutupi kekurangan di masing-masing HIP burger yang di bagunnya, Novan memakai sistem subsidi silang, artinya ketika HIP Burger di Takengon surplus maka di harus subsidi ke Banda Aceh, begitu pula sebaliknya.

Menurut Novan tingkat laku-tidaknya burger setiap harinya sangat berpariasi. Di Takengon yang buka mulai sore hingga pukul 00.00 wib kisarannya tidak kurang dari 500 roti dan untuk di Beurawe dan Simpang Lima mampu mencapai 100 sampai 200 roti setiap hari. Sementara harga jual HIP Burger ada yang Rp. 3.000,- dan ada pula yang harga Rp. 5.000,-. Jika dia menaikkan harga lebih dari itu, pelanggan akan lari meski harga bahan pokok saat ini terus melambung.

“Makanya saya bikin spanduk yang isinya Protes bahan baku naik Burger HIP turun harga!, spanduk ini saya pasang di HIP Brawe, Simpang Lima dan Takengon, semua ini ada tujuannya, terutama untuk mempertahankan tetap hidupnya bisnis saya di dua daerah ini.” demikian Noval

Rahmad Sanjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar