Selasa, 08 September 2009

Perempuan di Kisaran Waktu

Dalam beberapa dekade, Perempuan Aceh mengalami banyak perubahan yang jauh lebih maju atau jauh lebih mundur ketimbang pendahulunya. Perilaku dan gaya hidup saat ini merupakan cermin mutlak bagi keberadaan kaum perempuan Aceh yang haus perkembangan dan modernisasi di mata dunia.

Perempuan adalah Pewaris prilaku dan sekaligus sebagai guru besar pada anak-anak yang dilahirkannya, emua ini tidak dapat di pungkiri, bahwa perempuan juga adalah pertahanan atau benteng terakhir setiap budaya yang ada di muka bumi ini.

Begitu juga dengan perempuan Aceh. Mereka adalah penganut setia warisan para pendahulunya, misalnya nasehat keramat orang tua yang di dapatnya saat kanak-kanak, menginjak masa pubertas yaitu di umur yang relatif sangat muda (belia) hingga usia mereka memasuki jenjang rumah tangga.

Berbagai perkataan orang tua terutama yang perempuan menjadi sokoguru yang jitu saat mereka menjalani kehidupan yang sesungguhnya yaitu ketika mereka jauh dari kedua orang tua (merantau), disinilah segalanya di implementasikan.

Pada masa pubertas, wanita Aceh di bekali berbagai urusan belajar dan menyerap kemampuan orang tua dalam mengurusi rumah, masak hingga mengurusi adik-adik mereka selain menjalankan pendidikan di sekolah. Para orang tua saat mengajari putrinya memiliki berbagai cara; baik cara yang lunak, memaksa, agamis atau dengan cara-cara intelektual yang pada dasarnya di dapat melalui pengalaman hidup (otodidak), disini orang tua kerap memberikan pengertian atas kebiasaan-kebiasaannya terdahulu yang pernah mereka rasakan saat berinteraksi dengan ibu mereka.

Penularan pengalaman dari generasi ke generasi dalam tatanan masyarakat Aceh secara tidak sengaja terbukti dapat mempertahankan kultur atau adat istiadat yang mau tidak mau harus di taati dan di jaga keberadaannya. Penekanan orang tua dalam membekali anak-anak perempuan juga sangat berbeda dengan anak-anak laki-laki, hal ini terbukti dari hasil yang di temukan saat ini. Dimana anak lelaki lebih diarahkan pada kondisi menyiasati hidup sendiri, lewat merantau dan anak perempuan lebih banyak membantu orang tua di rumah dalam mengurusi pekerjaan-pekerjaan rumah. Semua ini kita temukan hampir di seluruh daerah Aceh.

Tetapi tidak hanya itu, budaya Aceh juga membenarkan bahwa perempuan dapat juga bekerja mengurusi sawah ladang tanpa bantuan laki-laki, sementara laki-laki lebih di khususkan mencari penghasilan lain di luar bertani. Dan bagi kaum perempuan yang banting tulang di sawah dan kebun tidak pernah merasa risih dan canggung, sebab adat mengajarkan mereka seperti itu. Semua ini agaknya sudah menjadi hak dan kewajiban yang tidak bisa di tawar-tawar lagi dan persoalan seperti ini pernah di kritik oleh pegiat HAM dan LSM yang konsen tentang perempuan, bahwa semua ini tidak diperbolehkan, karena di sana ada indikasi intimidasi dan pelanggaran HAM terhadap perempuan.

Meskipun perkataan mereka disosialisasikan secara sempurna untuk mengubah pola adat dan kehidupan masyarakat yang sudah turun temurun melakukan pekerjaan seperti ini, ternyata masyarakat Aceh terutama perempuan pekerja kembali lagi menjadi siapa diri mereka, bahkan anggapan masyarakat setempat kepada orang-orang yang mencoba mencampur adukkan kepentingan organisasi dengan adat yang berlaku di tempat itu adalah sebuah pelanggaran HAM berat, karena sifatnya ingin merubah semua tatanan yang telah diciptakan pendahulunya.

Salah seorang penduduk Aceh besar yang berprofesi sebagai pengangkut pasir dan batu, Husaini sempat mengatakan pada Investigasi baru-baru ini, “ kami tidak tahu apa itu HAM yang di katakan anak-anak perempuan yang datangnya dari kota itu, setelah istri saya masuk perkumpulan mereka kami tidak lagi menggarap sawah, istri saya sibuk kumpul-kumpul dengan perempuan-perempuan ysng saya tidak tahu apa mau mereka. Penghasilan kami hanya dari angkut pasir saja saat ini, tapi saya mau mengadu kemana, “ keluh Husaini.

Sejak masuknya program perempuan di Aceh besar banyak masyarakat yang mengeluh adanya perubahan kehidupan tradisi mereka, hal ini juga di rasakan pada anak-anak perempuan mereka yang biasanya berprilaku layaknya perempuan Aceh Besar yang taat pada orang tua, mengaji pada saat Magrib menjelang Isya dan diam di rumah setelah pulang mengaji dan sebagainya, kini mulai runtuh tersebab teknologi komunikasi dan program-program perempuan yang senantiasa mengajak mereka merubah kultur.

Aini Arista (bukan nama sebenarnya) salah seorang pemerhati Perempuan Aceh menyebutkan, “ program perempuan untuk kawasan Aceh seharusnya memplotkan diri dalam cultur setempat, tidak bisa dibuat sekehendak hati, karena daerah Aceh sangat berbeda dengan Jakarta atau daerah lain. Saya kitra dengan menyamarkan nama saya masyarakat Aceh besar juga tahu siapa saya, jadi saya berharap pada pegiata HAM perempuan, jangan melakukan pelanggaran HAM terhadap perempuan-perempuan Aceh dengan memaksakan berbagai program kalian, apalagi merusak khasanah yang telah ada dan turun temurun sifatnya, arahkan saja para perempuan Aceh di manapun berada dan bawa mereka ke khasanah keislaman karena inilah pegangan kita para pegiat perempuan, agar mereka dapat harmonis dalam keluarga dan pergaulan di kampung mereka. “urai Aini

ketika teknologi mulai berkembang, maka transformasi kebiasaan , adat dan adab semakin pudar dan luntur dimakan kecanggihan alat-alat komunikasi. Sehingga proses belajar mengajar antara generasi kian tidak sempurna. Saat ini lebih dari 70 persen perempuan Aceh miskin terhadap konsep hidup, gelar perempuan Aceh yang selalu pandai memasak, mengurusi rumah atau perduli kepada saudara semakin kehilangan makna aslinya dan berubah menjadi metropolis tanggung yang serba mudah diakali oleh keadaan.

Maka saatnya memperbaiki keadaan, lewat program-program perempuan yang lebih mengena ke dasar budaya dan adat istiadat yang ada, jangan melawan, sebab mereka juga akan memberikan perlawanan yang lebih sengit dari apa yang di bayangkan.

Meski kini para perempuan Aceh yang haus modernisasi semakin tak terbendung jumlahnya dan arus globalisasi semakin tak terbendung setidaknya ada kiat-kiat tertentu untuk memperkecil angka melupakan kultur, sehingga ketika para wanita ini beranjak dewasa dan memasuki jenjang perkawinan, mereka dapat berharga bagi keluarga terutama dalam mentranformasikan perilaku kehidupan pada buah hatinya.

*Rahmad Sanjaya

Nabhani HS


Penulis Aceh Belum Memperhitungkan Mutu

Nabhani HS adalah seorang sastrawan dan juga penulis Aceh yang karyanya kerap muncul di berbagai media baik di Banda Aceh maupun di luar Aceh, ketika acehkita menjumpainya di Taman Budaya, dia sangat menginkan dunia penulisan di Aceh semakin terus berkembang juga berbobot, Nab mengaku sangat senang melihat perkembangan penulisan di Aceh akhir-akhir ini, meski bobot atau mutu belum terjaga.

Dalam pengamatan saya setelah kejadian tsunami ada sesuatu yang menggembirakan di dunia kepenulisan Aceh. Banyak penulis-penulis muda dan karyanya yang bagus-bagus muncul seperti air bah yang tidak terbendung, semua ini dapat kita buktikan dengan banyaknya terbitan buku-buku baik dalam karya sastra seperti antologi puisi, novel, cerpen dan lain sebagainya tidak ketinggalan pula para penulis ini juga menerbitkan buku-buku yang bertemakan sosial.

Kawan-kawan ini terus bergerak, sebagian besar mereka penuh dengan kemandirian, baik dari mulai cara penulisaan, menata buku, mencari dana hingga ke permasalahan penerbitan, ini pertanda ada perubahan yang terjadi dari tahun ketahun dan saya dapat merasakan ada aroma yang sangat kuat sehihingga saya percaya dunia kepenulisan Aceh akan terus berkembang pesat seperti di kota-kota lain.

Terlepas dari semua itu, banyaknya bermunculan buku-buku atau karya-karya teman-teman kita itu terkadang tidak di barengi dengan munculnya bobot mutu dari karya yang mereka keluarkan, terlihat pemikiran-pemikiran yang masih sangat sederhana dan terkesan hanya sebatas kulitnya saja. Maka maklumlah kita kemandirian ternyata harus disertakan dengan komunikasi antar penulis, saling tukar pendapat atau berdiskusi sehingga karya yang muncul kepermukaan akan semakin hidup

Berangkat dari pengalaman masa lalu, penulis saat ini agaknya melupakan banyak hal, semestinya ada niat untuk belajar dari pengalaman yang sudah pernah ada, di tahun 80 an hingga akhir tahun 90 an penulis-penulis kita selalu dibina secara bebas oleh sebuah media, mereka terorganisir sedemikian rupa, sehingga banyak bermunculan nama-nama yang sangat akrab di hati kita hingga saat ini, apakah dia menjadi seorang sastrawan, penulis essey, cerpen maupun artikel, penulis-penulis ini dapat dipantau oleh setiap orang, baik secara personal maupun karya.

Penulis hari ini tidak mendapatkan dunia kebersamaan seperti itu, mereka yang muda sepertinya belajar menurut alam mereka tanpa ada seorangpun yang mengarahkan, baik lewat media, secara personal maupun secara diskusi-diskusi, lecutan kreatifitas mereka kalau boleh saya katakan hanya sebatas membaca buku, koran dan pengalaman pribadi, padahal ini belum cukup untuk menjadikan mereka seorang penulis yang benar-benar bertahan di masa yang akan datang.

Maka dari itulah saya berharap pada semua teman-teman, mari kita membuka diri untuk menghadirkan kembali diskusi-diskusi karya, kritik-kritik karya yang gunanya banyak sekali terutama bagi generasi penulis apapun namanya di Aceh, bagi kita tidak ada guru di sini yang ada hanyalah saling bersilaturahmi baik personal maupun karya, sehingga jemaah penulisan di Aceh makin marak tumbuh dan berkembang juga bobotnya sangat di perhitungkan.

Rahmad Sanjaya