Minggu, 14 November 2010

Diskusi Terbuka Mulai Membuka Tabir

Forum Diskusi Terbuka yang di adakan seniman 30 Oktober 2010 di Kantin AAC Dayan Dawood merupakan pertemuan kali ke tiga selama dua bulan ini, diskusi yang mengambilstar pada bulan September lalu membicarakan banyak hal tentang seniman dan berbagai pengalaman yang dialami seniman dan budayawan Aceh saat ini terutama paska henkangnya para donator ke Negara masing-masing.

Pada pertemuan diskusi terbuka kali ke tiga ini, peserta forum dihadiri berbagai element, baik dari kalangan seniman, akademik, politikus, wartawan hingga mahasiswa, serta kalangan entertainment. Debra Yatim yang di tunjuk sebagai moderator, mengarahkan forum diskusi yang membahas persoalan marketing seni, syariat islam yang di hubungkan dengan kondisi berkesenian, praktek KKN dalam dunia seni hingga kepada persoalan kemandirian masyarakat seni di Aceh.

Ampon Man (Kamaruzzaman) mengatakan, “seniman tidak akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan kesenian jika persoalan diri mereka tidak pernah tuntas, hal ini mestinya adanya niat baik dari semua seniman untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi akhir-akhir ini seperti persoalan keorganisasian dalam satu meja pembahasan atau perundingan. “saya kira persoalan pokok seniman kita hari ini kurang berani mengambil sikap sehingga banyak hal dibiarkan larut begitu saja tanpa ada penyelesaian yang pasti, hasilnya seniman sendiri yang mengalami kerugian.

Saya kira persoalan keorganisasian hanyalah persoalan yang tidak begitu rumit, karena persoalan ini bukanlah sebesar problem pada saat kita sedang di landa konflik, tetapi problem kesenian ini merupakan perang juga dan tidak bias dikatankan tidak namun perangnya bukanlah perang fisik, tetapi perang mental yang psikologi sifatnya.

Apa salahnya semua seniman duduk bersama , memecahkan berbagai persoalan yang terjadi saat ini, saya berharap adik-adik kita yang saat ini eksis dalam berkesenian hendaknya rukun dalam membangun Aceh yang lebih bermartabat, sebab orang kesenian atau orang yang berbudaya selalu memiliki dasar norma dan prilaku yang baik kepada siapapun.” Demikian Ampon Man

Dalam kesempatan diskusi ini juga beberapa konstituen menyarankan agar semua hasil diskusi diterbitkan secara rutin dan di berikan kepada semua peserta diskusi atau kepada setiap pemangku kebijakan, agar semua pembicaraan tentang seni dan budaya dapat difahami secara bersama-sama.

Rahmad Sanjaya

Sabtu, 02 Oktober 2010

Jambo Kupi Apa Kaoy untuk Kesenian

Hancurnya tempat-tempat kesenian seperti Taman Budaya, Gedung Sosial dan Taman Ratu Syafiatuddin menjadikan tempat kumpul seniman tidak lagi tersentralistik. Kondisi ini semakin mempersulit komunikasi antar seniman dalam menjalankan profesinya sebagai seniman. Penghancuran tempat-tempat berkesenian agaknya terus saja dilakukan pihak-pihak terkait dalam hal ini pemda, Taman Budaya misalnya, tempat ini merupakan central seniman yang setiap hari di jadikan pakalan bagi seniman Banda Aceh untuk berkumpul, bertukar pandangan, bagi job hingga menebar pesona dan isyu, tempat yang sudah di renovasi BRR di tahun 2007 ini sama sekali tidak terpakai dengan baik, padahal Taman Budaya merupakan Laboraturium kesenian seperti layaknya daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki Taman Budaya. Namun Pemda Aceh dan dinas terkaitnya seperti enggan memanfaatkan sarana ini dengan sebaik mungkin.

Dengan di tinggalkannya Taman Budaya oleh para seniman, seniman jadi tidak lagi dapat bertemu seperti dulu, sehingga proses berkarya juga semakin minim. Katakanlah saat ini teknologi mendukung para seniman untuk berinteraksi seperti HP dan Internet baik melalui email maupun facebook, namun semua itu tidaklah cukup, karena dunia seniman di Aceh adalah dunia interaksi fisik bukan interaksi maya.

Di tengah kekisruhan tempat berkumpul, MY. Bombang yang di kenal sebagai pe- HIM Aceh menawarkan solusi untuk tempat berinteraksi secara fisik , siapa saja boleh ketempat ini tidak terkecuali seniman. Jambo Kupi Apa Kaoy sejauh ini efektif menjadi basecampnya seniman bukan hanya seniman ternyata yang berkumpul di sini, JaKAP juga tempat berkumpulnya para mahasiswa dan intelektual muda.

Untuk menu andalan JaKAK menawarkan Kanji Rumbi sejenis bubur khas Aceh, Mie dengan berbagai rasa, Kopi Gayo dan Kopi Ulee Kareng, semua ini di sajikan setiap hari, bahkan JaKAP juga menyediakan tempat diskusi dan latihan seni bagi para seniman. Harga makanan dan minuman di patok dengan harga berpariasi, Apa Kaoy mengatakan di dalam segelas kopi yang di sajikan ada dana untuk kesenian lima ratus rupiah dan para penikmat kopi yang hadir di JaKAK gratis menikmati dunia maya jika membawa laptop. Penawaran ini semata-mata hanya untuk memanjakan pelanggan untuk berekses ria di dunia maya.

JaKAK yang didirikan atas prakarsa Apa Kaoy ini belum sepenuhnya selesai, di beberapa bagian Jambo masih belum terbangun dengan semestinya, Apa Kaoy mengatakan mereka sangat terbatas dana, sehingga pembangunan jambo mau tak mau harus di lakukan secara perlahan-lahan.

Rahmad Sanjaya

Jumat, 01 Oktober 2010

Banda Aceh


Inilah wajahmu dan wajah ku
Yang terpampang di setiap pamplet kota
bersahaja, damai bahkan terus tersenyum
Matanya yang begitu sayu, bibir yang begitu merekah
Birahi setiap kali orang melihatnya

Tubuhnya yang dibelah sungai
Membendung rindu tatkala jauh darinya
Namun itu dulu, jauh sebelum tsunami menyibak
Keperawanannya

Inilah isyarat Sang Dewi yang tak lagi suci
Tubuhnya yang pernah menyinari setiap bunga-bunga di taman
Berganti kekusaman yang tak habis-habis
Hingga burung-burung madu tak lagi bercicuit
diantara bunga-bunga kembang sepatu
Keanggunan rambut yang terurai panjang yang dulu
Selalu meyejukkan rerumputan ketika tersentuh
kini berganti sebagai pemusnah ketika bersentuhan dengan apa saja

Inilah kotaku
Bandar wisata islami kata para birokrat , dijaga para aparat
dan di aminkan para ustad
Yang ditumbuhi kedustaan berbalut Islam
Maka bertanggungjawablah untuk nama ini
Karena kita tak pernah punya contoh baik
atas penobatan nama ini

kotaku telah lama tersesat oleh predikat
semoga laknat tak berjuntai di rongga dada kita

Rahmad Sanjaya
Banda Aceh September 2010

Why ( Kenapa Kita...)


Kebanggaan menjadi orang Aceh terletak hanya dalam tiga kata, yang pertama Agama, kedua Pendidikan dan ketiga Budaya. Kebanggaan telah menjadi darah daging bagi kita orang Aceh dimanapun berada, bahkan kerap kebanggaan tersebut menjadi simbul perjuangan hidup dalam setiap men-jalankan usaha.
Dalam diri setiap orang Aceh jika sudah tersemat tiga item di atas maka tidak lagi dapat dipungkiri, betapa berjiwa besarnya individu tersebut mengimbangi kehidupan sehari-hari, betapa agungnya marwah individu tersebut jika berada di tiap tempat dan betapa berkilaunya nama orang yang menganut 3 pilar tersebut dimana-mana, semua itu merupakan bukti atas ketulus-iklasan dalam kehidupan bermasya-rakat dan tentunya tidak sia-sialah generasi terdahulu memperjuangkan tiga nilai luhur ini.
Jepang adalah sebuah Negara di Asia Pacifik yang sangat maju dengan peradaban modern saat ini, Negara tersebut hanya menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan, dan meng­apli­kasikannya secara bijak di setiap lini kehidupan mereka, tidak terkecuali, rakyat kelas bawah hingga pemerintahnya menganut kesepahaman atas pendidikan yang menyeluruh berdasarkan apa yang di sebut Hirohitu seusai jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, “berapa Guru yang tersisa…”, nah dari sinilah semua itu bermula, pendidikan dengan bersimbol guru maka jadilah Jepang Negara yang maju dan terus berkembang seiring zamannya.
Lalu bagaimana dengan Aceh yang tidak hanya pendidikan sebagai moto, maklumat atau arah persesuaian hidupnya, tetapi agama dan budaya yang menjadi pilar kokoh yang seakan menjadi deteksi setiap virus atau bakteri apapun yang mengancam setiap keutuhan Aceh. Tapi apakah sudah pasti ketiga pilar kokoh itu sudah digunakan sebaik-baiknya? Wah… ini lah persoalan.
Di dalam aplikasi dan kenyataan spertinya ketiga pilar tersebut belum di jalankan secara jujur oleh setiap individu di Aceh, banyak factor yang mendikotominya, menelaahnya bahkan mengejawantahkannya ke dalam aplikasi yang salah. Agama saja tidak cukup untuk me­­n-ya­­darkan orang yang tidak berpendidikan dan berbudaya, tidak cukup hanya berpenddikan sementara agamanya dan budaya tidak me­-ngajarkan mereka untuk tidak tindak kejahatan, korup dan sewenang-wenang dan tidak cukup pula hanya berbudaya tanpa berpijak atas dasar-dasar agama dan berbagai petuah-petuah budaya yang saling mengikat satu sama lain.
Mari kita saksikan apa yang sedang terjadi saat ini secara detail, apa yang terkikis dalam kehidupan kita dan apa yang hilang diantara kehidupan kita saat ini, semua kenyataan yang ada ini akibat dari ketiga pilar itu sudah semakin tua dan tidak siapapun yang merenovasinya, pilar-pilar itu di biarkan kusam dimakan ke-sewenangan, korup, dan kejahatan-kejahatan setiap individu yang kerap memandang gengsi lebih utama ketimbang ketiga pilar ini sehingga Aceh mengalami banyak dekadensi moral, eporia berlebih dan haus untuk memperkaya diri dari milik masyarakat.
Aceh ini milik kita, milik sah orang Aceh, tetapi mengapa kita tidak membangunnya dengan gaya keAcehan. Kenapa hukum texas, hukum rimba, hukum individu atau kelompok yang lebih diutamakan. Sudahlah, yang kaya marilah membantu yang miskin dan yang miskin jangan berprasangka buruk dengan yang kaya, jalankan keseimbangan kita menururut tatanan Agama, Pendidikan dan Budaya. Mari kita pelajari, lalu jalankan dan hasilnya Aceh menjadi daerah yang lebih baik.
Rahmad Sanjaya

Menjadi Komponis Lewat Musikalisasi Puisi


Aceh merupakan daerah potensial untuk tumbuh kembangnya seni budaya apapun bentuk seninya, begitu pula dengan musikalisasi puisi. Seni musikalisasi puisi adalah seni perpaduan antara seni musik dan sastra terutama puisi.

Musikalisasi Puisi di Aceh sudah menampakkan jati dirinya sejak tahun 1983 saat itu musikalisasi puisi bernama musik kreatif, namun di tahun 1988 teater mata menamakan seni yang satu ini sebagai musikalisasi puisi. Jelas kini musikalisasi puisi di Aceh lebih awal berapa tahun dari pada daerah lain yang rata-rata mengembangkan seni ini di tahun 1990.

Pengembangan musikalisasi puisi di Aceh dimulai oleh Bengkel Musik Batas yang saat ini telah menghasilkan banyak generasi baik dalam konsep musik Aceh maupun dalam konsep musikalisasi puisi. Dan dari para pengajar dalam pelatihan ini generasi musikalisasi puisi inilah yang membantu mewujudkan program ini dari Januari hingga Maret 2010 sampai program klas minor (dasar) ini selesai dengan sempurna.

Dari pelatihan yang dilakukan oleh Komunitas Rumah Sawah akhirnya terjawab sudah, Banyaknya kelemahan dan penyimpangan dalam mengkomposisi musikalisasi puisi. Semua ini diakibatkan banyaknya masukan dari luar Aceh yang simpang siur tanpa ada penjelasan yang utuh, sementara antusias para pelajar akan Musikalisasi Puisi sangat besar.

Dalam pelatihan ini juga di temukan, bahwa setiap pelajar tidak mengerti apa sebenarnya musikalisasi puisi, bagaimana mengkomposisi musikalisasi puisi ketika berhadapan dengan puisi-puisi yang di tawarkan dalam pelatihan.

Semua ini lumrah adanya, karena dunia musikalisasi puisi Aceh sejak tahun 2000 hingga 2006 mengalami pembiaran dalam segi pelatihan, sehingga banyak generasi Musikalisasi Puisi di Aceh mencari-cari sendiri konsep tanpa mengetahui dasar-dasar yang pasti dalam musikalisasi puisi, sebenarnya sejak tahun 1992 -1999 Bengkel Musik Batas adalah kelompok seniman yang aktif membina, memberi pelatihan kepada siswa dan guru-guru kesenian dari berbagai sekolah, namun hasil dari pelatihan tersebut sama sekali tidak diperdulikan guru-guru kesenian tersebut, seharusnya hasil pelatihan ini terus di galakkan kepada setiap generasi pelajar yang baru di tiap sekolah agar pemahaman sastr terutma puisi tidak hanya sekedar tinggal di buku-buku antologi puisi yang tersantir di rak-rak perpustakaan.

Agaknya generasi sastra yang inovasi harus terus di galakkan di Aceh terutama terhadap generasi potensial yang saat ini sebagian besar berada di SMP dan SMA, karena musikalisasi puisi tidak hanya mendidik para pelajar untuk berkreatifitas namun melalui sastra puisi mereka dapat mensiasati diri sebab di musikalisasi puisi selalu diawali dengan pengupasan puisi sebelum membuat komposisi musik, maka dengan berbagai penjelasan yang dilakukan oleh para pengajar disanalah di selipkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam tiap kalimat puisi, sehingga manfaat ganda mempelajari musikalisasi puisi dapat secara langsung diterima oleh para pelajar.

Antusias para pelajar di Banda Aceh dalam mempelajari Musikalisasi Puisi sangatlah besar, namun semangat mereka pelan-pelan meredup karena pihak sekolah tidak mengizinkan anak-anak didiknya mempelajari musikalisasi puisi. Seperti yang diungkapkan siska salah seorang peserta pelatihan Musikalisasi Puisi di Taman Budaya, Kepala sekolah mereka tidak ingin ada musikalisasi Puisi di sekolah mereka, alasannya kepala sekolah mereka, Musikalisasi Puisi itu tidak penting sebab tidak ada dalam Ujian Nasional, jadi tidak begitu penting itu Musikalisasi Puisi, Ujar Siska menirukan kepala sekolahnya.

Lain Siska lain pula Fitri, siswi kelas dua di salah satu SMA di Aceh Besar mengatakan, kepala sekolahnya dulunya pernah mengikuti berbagai ajang lomba Musikalisasi Puisi, tapi sebelum dia jadi kepala sekolah, saat itu dialah guru yang paling getol memperjuangkan musikalisasi puisi di sekolah kami, sampai-sampai dia kerap memaksakan idenya kepada kepala sekolahnya terdahulu, tapi sejak dia jadi kepala sekolah musikalisasi puisi kami semakin meredup dan tidak pernah lagi dapat juara, urai Fitri.

Pelatihan di luar sekolah memang jadi penomena besar bagi setiap siswa – siswi SMA maupun SMP, mereka harus mendapat restu dari guru maupun kepala sekolah. Tetapi pelatihan yang dilakukan di luar sekolah, agaknya tidak berbenturan dengan jadwal klas mereka di sekolah, para pelatih mengambil hari libur untuk pelatihan musikalisasi puisi seperti ini, itupun juga menjadi persoalan besar bagi guru dan kepala sekolah. Sehingga para pelajar enggan untuk mengikuti pelatihan.

Anehnya pada saat ada lomba atau festival, berduyun-duyunlah semua sekolah mendaftarkan sekolah mereka jadi peserta, maka jelaslah kegiatan pendidikan ekskul, terutama musikalisasi puisi ada intervensi dari guru dan kepala sekolah, namun mereka hanya memberi peluang untuk mengikuti ajang lomba saja tanpa persiapan yang matang.

Agaknya kegiatan ekskul pelajar harus di format sedemikian rupa oleh para penentu pendidikan di Aceh, agar para pelajar kita dapat berbagai hal selama mereka jadi pelajar. Biarkan para mereka berkembang sesuai bakat dan minat mereka,mungkin ini lebih baik.

Rahmad Sanjaya

Sabtu, 16 Januari 2010

Rahmad Sanjaya

Rahmad Sanjaya: Lahir di Takengon (Aceh Tengah), 18 Juni 1972. Pendidikan terakhirnya menamatkan S1 dan S2 Teknik Sipil, menamatkan S1 Ekonomi jurusan Management dan Sekolah Musik di Jakarta. Darah seni yang mengalir di tubuhnya merupakan warisan dari ayahnya (Musisi) dan ibunya (Penari Melayu), Kiprahnya dalam dunia seni dimulai sejak umur 5 tahun dan saat itu untuk pertama kalinya dia perkenalkan dalam dunia seni lukis di kota kelahirannya.

Di tahun 1983 dia diajarkan bermain guitar oleh ayahnya, tahun 1987 dia mulai membuat puisi, tahun 1990 dia mulai menggeluti dunia teater di teater Mata Banda Aceh, beberapa naskah besar luar negeri sempat di pentaskannya bersama Teater Mata pimpinan Maskirbi dan dia juga sempat menggarap musik teater dalam beberapa naskah baik dalam Teater Mata, maupun Teater Kosong dan Krya Artistika.

Selama berteater seniman yang kerap di sapa Bang Jay ini aktif menulis puisi dan sepanjang perjalanannya dalam dunia sastra dia sempat di undang ke Malaysia dan dikukuhkan oleh Dewan Kesenian Jakarta menjadi Penyair Abad 21 di tahun 1996. Puisi-puisinya terhimpun dalam Antologi Sosok (1992), Nafas tanah Rencong (1992), Antologi Batu Malang (1993), Antologi Seulawah;Antologi Aceh Sekilas Pintas (1995), Mimbar penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Dalam Beku Waktu (2002), Antologi Putroe Phang (2002), Antologi Tanah Pilih (2008) dan Ensiklopedi Aceh (2008). Sedangkan puisi dalam bentuk Musikalisasi Puisi terdapat dalam album: Himne Bagimu Ibu, Luka, Khibast2000, Kehidupan I dan 2 (1999-2000). Ditahun 2009 dia membuat Album musikalisasi puisi bertajuk “Jaya” (Komunitas Musik Merdeka) yang di rekam dalam CD Audio.

Pendiri Bengkel Musik Batas (1991), Khibast2000 (1997), Komunitas Musik Merdeka (1998) Asosiasi Seniman Aceh Indonesia – ASAI (2001) dan Komunitas Rumah Sawah (2006) ini telah mengaransmen 1123 buah puisi ke dalam bentuk Musikalisasi Puisi sejak tahun 1990 s/d 2009. dan dengan itu pula dia kerap menjadi fasilitator di berbagai pelatihan Musikalisasi Puisi (1993-2009) dan menjadi juri di berbagai lomba baca Puisi dan Festival Musikalisasi Puisi (1992-2009).

Dalam organisasi kesenian Direktur Komunitas Rumah Sawah (KRS) ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pengawas Dewan Kesenian-DKA (2000-2005), Wakil Ketua II Bidang Program DKA (2006-2007), Ketua Umum Komunitas Musik Merdeka Indonesia (2001- sampai sekarang), Ketua Umum Konsosium Musikalisasi Puisi Indonesia KMPI (2008 sampai sekarang), Ketua Umum Konsorsium Musikalisasi Puisi Mejabundar (2009- sekarang)dia juga tercatat sebagai Wartawan Koran AcehKita (2005-2008), Tabloid Investigasi (2008), Tabloid Reporter (2008), Tabloid Sipil (2008- 2009), redaktur tamu di berbagai media di Bogor dan Jakarta. Sebagai seniman yang terus aktif nama Rahmad Sanjaya tercatat dalam Buku Pintar sastra Indonesia (2001).

Bengkel Musik Batas

Kelompok Musikalisasi Puisi Pertama Aceh

Rahmad Sanjaya adalah orang pertama yang tercatat sebagai seniman musikalisasi puisi di Aceh, dia membentuk kelompok Canang Cerekeh tahun 1989 bersama Maskirbi dan Teater Mata namun nama itu kemudian berganti menjadi Canang Gong, kemudian berganti lagi dengan nama Kelompok Musik Polos (1998-1990). Namun kelompok ini mengalami banyak perbaikan termasuk pergantian nama dan Rahmad Sanjaya mengubah nama kelompok Musikalisasi Puisi Aceh ini dengan nama Bengkel Musik Batas yang memiliki orientasi layaknya sebuah bengkel, namun yang di tukangi adalah nada dan puisi yang sengaja di gubah dalam bentuk Musikalisasi Puisi.

Bengkel Musik Batas didirikan pada tanggal 10 November 1991 di Banda Aceh, oleh Rahmad Sanjaya. Keberadaan Bengkel Musik Batas ini bermula dari kampus Teknik Sekolah Tinggi Teknik Iskandar Thani, Jay sering tampil di berbagai acara dengan beberapa anggota barunya seperti Eddy Syahputra yang mantan anggota kelompok Musik Polos dan juga tercatat sebagai anggota teater Mata, namun ketika 8 November 1992 anggota Bengkel Musik Batas mulai bertambah diantaranya, Erol, Iwan Setiawan, MY Bombang, Dama, Totok, Zoel Kirbi, dan Maulana Akbar. Pada pase berikutnya personilnya semakin bertambah; Winaharto, Khairin, Evi TL, Evi Takengon, Novi, Magdalena, Ningsih, Anna, Nurlaily, Dedek Nasmawati dan Darmansyah, dan seterusnya semakin hari terus bertambah anggota.

Inilah kelompok pertama Musikalisasi puisi di Aceh. berdirinya kelompok musik yang dianggap aneh oleh sebagian besar seniman Aceh ini tidak menyurutkan langkah Rahmad Sanjaya yang di daulat sebagai ketua dan pemilik kelompok ini, berbagai bantahan, cacian bahkan cemoohan sering mendera mereka. Namun barulah terbuka mata setiap orang ketika Bengkel Musik Batas ini menggelar pementasan di berbagai tempat di Banda Aceh, Lhoukseumawe. Bengkel Musik Batas semakin berkibar setelah mereka tampil sebagai pengisi acara Nalamda (Nada dan Da’wah) di TVRI dengan format musikalisasi puisi. Dan kelompok ini pula yang pertama kali menggabungkan alat musik tradisional Rapai, Genderang dan serune kale yang di gabungkan dengan alat musik seperti guitar, belira, keyboard dan guitar Bass dan akibat dari penggabungan alat musik tradisi Aceh dengan alatmusik standar tersebut banyak seniman Aceh yang marah dan tidak suka dengan aksi mereka, sebagian besar dari seniman yang tidak senang terhadap konsep Bengkel Musik Batas ini pada seolah-olah ingin membubarkan kelompok ini dengan segala cara, namun Bengkel Musik Batas yang sebagian besar berasal dari Teater Mata ini tidak mempan terhadap segala aral melintang bahkan berbagai inspirasi baru muncul seperti air bah dan Bengkel Musik Batas pulalah yang pertama kali mengeluarkan tiga buah rumus musikalisasi puisi format Aceh, yaitu: 1) Modern + Tradisi + Kreasi, 2) Tradisi + Modern + Kreasi, 3) Kreasi + Tradisi + Modern selain itu Bengkel Musik Batas juga mengeluarkan resume mengaransmen Musikalisasi Puisi seperti; Interpretasi (penelaahan puisi), Penentuan irama, Penyeimbangan bunyi, Pemolesan, Pemberian bobot pada irama, Pengujicobaan, dan Pembakuan.

Bengkel Musik Batas yang berarti segalanya serba terbatas, baik skil bermain musik, daya cipta komposisi yang terbatas bahkan waktu berdirinyanya juga hanya 5 tahun. Namun selalu aktif melakukan latihan setiap malam dari pukul 20.00 hingga pukul 04.00 wib. Dan ternyata latihan setiap malam memberikan arti penting bagi tumbuhnya kemampuan para anggotanya menjadi semakin maksimal dan disinilah lagu-lagu yang berformat musikalisasi puisi muncul satu demi satu setiap waktu. Tidak itu saja Bengkel Musik Batas juga menghasilkan banyak resume penting terhadap konsep Musikalisasi Puisi yang terus di kembangkannya dalam beberapa generasi musikalisasi puisi didikan mereka.

Bengkel Musik Batas yang berdiri tahun 1991 dan bubar tahun 1996 menggarap komposisi dan aransmen musikalisasi puisi sebanyak 125 buah seluruh aransmen dan lagu di ciptakan oleh Rahmad Sanjaya, memiliki 15 generasi, dengan jumlah anggota sebanyak 140 orang baik aktif maupun non aktif di tahun terakhir sebelum di non aktifkan oleh Rahmad Sanjaya. Kemudian Rahmad Sanjaya membentuk Komunitas Musik Merdeka yang beranggotakan : Ahsan Khairuna, Da’yul Makruf (keduanya tercatat sebagai anggota Cupa Band dan teater Rongsokan IAIN), Mahrona (kini tercatat sebagai seorang Dokter Umum di Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh), Charli, Zulkarnain, Ani dan Ria Bunga. Inilah personil pertama Komunitas Musik Merdeka yang telah tampil di konvensyen Dunia Islam Dunia Melayu di Kuala Lumpur, University Malaya, Malaka, dan langkawi Malaysia di tahun 2000, dan pentas perdamaian Aceh dari tahun 2007-2008. Hingga bulan Mei 2009 Komunitas Musik Merdeka telah menghasilkan komposisi dan aransmen Musikalisasi Puisi sebanyak 998 buah puisi dan baru tahun 2009 inilah Komunitas Musik Merdeka menelurkan album perdana mereka yang bertajuk Jaya.

Sumber: Note Book Komunitas Rumah Sawah

dan sudah di bukukan dalam Esinklopedi Aceh Musik , tari, sastra dan lukis oleh LK Ara