Rabu, 12 Agustus 2009

Taman Budaya Aceh Mati Suri Setalah Renovasi


Seniman ; Ganti Kepala Dinas Disbudpar

Kemegahan gedung yang telah di renovasi milyaran rupiah oleh BRR di tahun 2008 ternyata tidak menjamin tingginya intensitas kegiatan kesenian di Taman Budaya, banyak seniman mengeluhkan kondisi ini, dari mulai gedung yang tidak senyaman gedung lama hingga ke persoalan matinya berbagai kegiatan kesenian yang dulunya dirancang oleh Taman Budaya secara baik.

Sementara seniman yang sering mangkal di Taman Budaya juga merasakan perbedaan yang sangat besar selama empat tahun tarakhir. Taman Budaya jadi sepi program kesenian, yang ada hanya program-program sempalan yang tidak mengatas namakan kesenian, seperti acara resepsi perkawinan dan pelantikan, prajabatan pegawai negeri sipil. Dari pengakuan beberapa seorang seniman menyebutkan, perubahan fungsi Taman Budaya sebenarnya sudah terjadi ketika Sudjiman A Musa yang dulunya menjabat sebagai kepala Taman Budaya di gantikan Hj.Poernamawati, nampak jelas ketika itu gedung tertutup sangat sulit di pakai oleh seniman, tetapi jika para pejabat daerah ingin mengadakan acara, gedung tersebut selalu terbuka, disinilah kebiasaan pergelaran acara serimonial mulai menjangkit dan tidak dapat berhenti hingga saat ini.

Menurut Riyadi yang saat ini menjabat kepala Taman Budaya, sesuai dengan Tupoksi (Tugas, Pokok dan Fungsi), Taman Budaya adalah sebuah laboraturium, semua program kesenian dikonsentrasikan di sini. Baik itu eksperimen seni, pameran, pergelaran seni hingga pelatihan seni, hal ini pernah terwujud satu kali di tahun 2006.

Di tahun 2007 kegiatan kesenian juga hanya sekali dilakukan, karena Taman Budaya tidak memiliki dana untuk berbagai kegiatan kesenian, lagi pula di tahun ini ada rehap gedung tertutup oleh BRR. Riyadi menambahkan banyak seniman yang datang padanya untuk meminta bantuan dana kegiatan kesenian baik berupa pelatihan maupun pergelaran, namun Taman Budaya tidak kuasa membantu mereka.

“Karena sudah terlalu banyak seniman mengajukan usulan dan permohonan kepada Taman Budaya untuk bergabagai kegiatan seni, maka kami buatkan program dan kami layangkan ke BRR dan Pemerintah Daerah, namun hasilnya nihil, sedangkan di tahun 2008 Kita juga membuat program seperti tahun-tahun sebelumnya, baik berupa pergelaran maupun program fisik.” urainya

Lebih jauh Riyadi menambahkan, Pengajuan program rehap sekretariat (kantor) dan Galery bukan tanpa alasan, sejak dirinya menjabat kepala Taman Budaya, kondisi kantor, Galery dua dan beberapa bangunan peninggalan 1970 an ini sudah sangat rusak dan rapuh dimakan usia. Jadi sangat wajar kalau dirinya mengedepankan program fisik, karena di sekretariat bernaung 36 orang pegawai yang setiap saat kerja tanpa ada kenyamanan ruangan seperti layaknya kantor-kantor lainnya.

Menanggapi situasi yang berkembang di Taman Budaya akhir-akhir ini, seniman Banda Aceh yang merasa prihatin terhadap sepinya program dalam empat tahun terakhir ini. Sofyan mengatakan, “Marilah kita perbaiki kinerja kita, Tupoksi itu harus berjalan sesuai dengan aturan, jangan ada tumpang-tindih program. Selama ini saya lihat Disbudpar selaku induk dari UPTD seharusnya lebih arif mengatur berbagai program, Taman Budaya ini di bangun bukan untuk sekedar pajangan fisik yang megah. Tetapi dia juga memerlukan berbagai program yang sesuai dengan bentuk fisiknya yang megah itu. Kita bisa bayangkan gedung kesenian tanpa ada pertunjukan kesenian, lebih baik di bubarkan saja Taman Budaya, sebab ini akan membuat seniman kita bertanya-tanya, apa saja tugas orang di Taman Budaya kalau tidak memiliki program kesenian. Kepala Dinasnya harus bijak dalam mengejawatahkan Tupoksi UPTD yang satu ini.” Ujar Seniman Musik yang satu ini.

Dari pemantauan yang di lakukan Sipil, Taman Budaya memang sangat memprihatinkan, bangunan fisik yang di utarakan Riadi memang mengalami kerusakan, Sekretariat seperti rumah kardus yang di tambal sulam agar dapat berkantor seperti biasa, Galery Dua juga terlihat sangat kumuh, kamar mandinya tidak memiliki pintu sebagaimana mestinya, sementara seniman tari terus menggunakannya setiap saat. Lain lagi dengan mess seniman. Paska tsunami Mess Seniman tidak lagi berfungsi untuk para tamu yang datang ke Taman Budaya, tetapi sudah menjadi tempat tinggal permanen bagi sebagian karyawan Taman Budaya, seniman dan beberapa korban tsunami yang tidak memiliki rumah. Kondisi fisik Mess Seniman ini juga sangat hancur dimakan usia. Fisik yang terbuat dari papan sudah rapuh dan lapuk, sanitasi juga tidak memenuhi standar kesehatan.

Belum tuntas persoalan gedung dan beberapa bangunan yang dianggap sudah tidak layak pakai lagi, air dari PDAM pun berhenti, dari keterangan Riadi, air dari PDAM sudah tidak mengalir ke Taman Budaya karena pihaknya tidak sanggup membayar tiap bulannya. “Persoalan ini juga sudah kami sampaikan pada kepala dinas, namun hingga saat ini belum ada tanggapan apupun,” sebutnya.

Di Sisi lain ada dua Gedung Taman Budaya yang sudah direhap luar dan dalam, yaitu Gedung tertutup dan gedung terbuka (Open Stage). Untuk gedung tertutup di bantu 3,3 M, sedangkan Open Stage dibantu sebesar 2,3 M. Gedung tertutup juga di bantu 900 kursi dan 5 buah AC, dana pembangunan Taman Budaya ini dibantu Oleh BRR dipa 2006/2007. Namun hingga saat ini open stage belum serah terima dengan pihak Taman Budaya.

Saat ini Taman Budaya memiliki 36 karyawan, 4 orang klining servis yang harus membersihkan 2,7 Ha belum termasuk gedung. Dengan jumlah clining servis yang hanya berjumlah 4 orang tersebut Taman Budaya tidak akan bersih, maka dari itu Riyadi kerap memerintah para pegawainya untuk ikut membersihkan seluruh areal yang ada.

Taman Budaya juga merupakan salah satu aset Pendapatan Asli daerah, di tahun 2008 setoran ke Pemda 16,5 juta dari target 12 juta. Semua ini di dapat dari hasil sewa gedung yang kerap di sewa oleh seniman maupun masyarakat sekitar Banda Aceh. Pihak Taman budaya mengakui dengan adanya penyewaan gedung untuk seniman 1-1,5 juta (nego) dan untuk masyarakat 1,5 juta sampai 2 juta, seniman yang berdomisili di Banda Aceh tidak sepenuhnya menerima ketentuan ini, sebab mereka menganggap hidupnya Taman Budaya sejak mulai berdirinya selalu dikarenakan adanya seniman.

Seniman membandingkannya dengan masa Sudjiman A Musa menjadi kepala Taman Budaya, bilamana seniman ingin memakai salah satu gedung, cukup mengajukan surat tanpa sepeserpun ada di tarik bayaran. Para seniman juga menghimbau kepada kepala Disbudpar dan Pemerintah Daerah agar Taman Budaya benar-benar dijadikan laboratorium kesenian dan setiap seniman menggunakan gedung baik open stage maupun gedung tertutup di bebaskan dari pembayaran sewa.

“Kalau mau tahu seniman tidak pernah di bantu dalam proses kesenian, mau bikin pementasan di Taman Budaya harus bayar, sementara kalau ada ivent nasional, para pejabat yang dapat nama, dan selalu ikut serta dalam rombongan kesenian, kan lumayan dapat liburan gratis dengan alasan mengawal para seniman. Sekarang coba kita perhatikan Pemda kita tidak pernah memperhatikan seniman Aceh baik yang tradisi maupun yang modern, lalu apa kerja dinas kebudayaan, lebih baik ganti saja kepala Dinas Kebudayaan dan antek-antek alias calo-calo kesenian yang berada di Dinas beserta jajarannya. Mungkin dengan penggantian tersebut kesenian kita bisa lebih membaik.

Melalui media ini kami sampaikan agar para penentu kebijakan juga cepat tanggap dengan kinerja orang-orang yang anda tempatkan sebagai kepala Dinas, karena kesenian Aceh bukanlah politik tapi dia adalah identitas kita, ketika kita sudah tidak lagi memiliki kesenian dan kebudayaan Aceh ini mau jadi apa!” sebut seniman yang tidak ingin namanya di tulis.

Rahmad Sanjaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar